IMUNOLOGI
DALAM BIDANG PETERNAKAN
A.
Pengertian Imunologi
Imunologi adalah (immunis : bebas,
logos:ilmu), ilmu yang mempelajari system pertahanan tubuh/cabang ilmu biomedis luas yang meliputi studi tentang
semua aspek dari sistem kekebalan pada semua organisme. Ini berkaitan dengan, antara lain, fungsi fisiologis
dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan penyakit, malfungsi
dari sistem kekebalan pada gangguan imunologi (penyakit autoimun,
hypersensitivities, defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan
fisiologis karakteristik komponen dari sistem kekebalan tubuh in vitro, in
situ, dan in vivo. Imunologi memiliki aplikasi dalam beberapa disiplin ilmu
pengetahuan, dan dengan demikian lebih lanjut dibagi.
B.
Sejarah
Imunologi
Tahap Empirik
Mithridates Eupatoris VI seorang raja dari Pontis Yunani,
(132 – 63 SM) dianggap ahli imunologi pertama. Cara: meminum racun sedikit demi
sedikit sehingga orang menjadi kebal terhadap racun. Dikenal dengan paham mithridatisme.
Pada abad ke 12, bangsa Cina mengenali bagaimana mengatasi penyakit cacar.
Cairan atau kerak dari orang yang terkena cacar tapi tidak berat apabila
dioleskan pada kulit orang sehat dapat melindungi terhadap cacar. Begitu pula
orang timur tengah menggoreskannya pada orang dengan membubuhkan bubuk pada penderita
cacar yang tidak parah akan melindungi keadaan yang lebih parah. Metode ini
dikenal dengan: tindakan variolasi. Dr Edward Jenner (1749 – 1823),
menggunakan bibit penyakit cacar dari sapi untuk ditularkan pada manusia.
Mulailah penggunaan vaksinasi untuk menggantikan istilah variolasi. Vacca:
sapi.
Tahap Ilmiah
Louis Pasteur dan kawan-kawan (1822 – 1895), meneliti
kemungkinan pencegahan penyakit dengan cara vaksinasi melalui penggunaan bibit
penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu. Pada waktu itu digunakan untuk
mengatasi penyakit kholera yang disebabkan Pasteurella aviseptica. Pfeifer
(1880) murid Koch meneliti Vibrio cholerae untuk mengatasi wabah penyakit
kholera. ¨ Elie Metchnikof (1845 – 1916) mengungkapkan bagaimana mekanisme
efektor bekerja dalam tubuh terhadap benda asing. Memperkuat pendapat Koch dan
Neisser. Adanya mekanisme efektor dari sel leukosit untuk mengusir bakteri
dinamakan proses fagositosis. Sel tubuh yang memiliki kemampuan fagositosis
dinamakan fagosit.
Fodor (1886), ilmuwan pertama yang mengamati pengaruh
langsung dari serum imun tehadap mikroba tanpa campur tangannya komponen
seluler. Penemuan ini diperkuat oleh Behring dan Kitasato (1890) yang
menunjukkan bahwa serum dapat menetralkan aktifitas tetanus dan difteri. Jules
Bordet (1870 – 1961) mengemukakan bahwa untuk lisis diperlukan 2 komponen yang
terdapat dalam serum imun. Sebuah diantaranya bersifat termostabil yang dikemudian
hari ternyata adalah antibody sedangkan komponen lainnya bersifat
termolabil yang dinamakan komplemen. Pada saat itulah mulai
diperkenalkan istilah antigen untuk memberikan nama bagi semua substansi yang
dapat menimbulkan reaksi dalam tubuh terhadapnya. Dan juga istilah antibody
untuk substansi dalam serum yang mempunyai aktifitas menanggulangi terhadap
antigen yang masuk ke tubuh.
Penemuan oleh Fodor mengawali penelitian untuk mendukung
teori mekanisme melalui imunitas humoral. Wright dan Douglas (1903), mengatakan
proses fagositosis akan dipermudah apabila ditambahkan serum imun. Bahan
yang diduga dikandung dalam serum itu dinamakan opsonin. Jadi mekanisme
efektor seluler dan humoral bersifat saling memperkuat. Pada saat bersamaan
ditemukan fenomena lain dalam imunologi yaitu adanya penyimpangan dalam tubuh
seseorang karena bereaksi terlalu peka. Pirquet membedakan fenomena tsb dalam
bentuk “serum sickness”, alergi dan anafilaksis.
Sampai Tahun 1940- an banyak dilakukan penelitian tentang
aplikasi dan pengembangan tentang fenomena imunologi
khususnya dalam penyediaan serum imun (anti tetanus, anti rabies dll), reagen
untuk diagnostik dan program vaksinasi. Felton, menemukan fenomena lain
yaitu bahwa dalam tubuh mungkin dapat timbul tidak adanya respon imun terhadap
suatu subtansi atau antigen tertentu. Fenomena ini disebut toleransi
imunologik. Felton berhasil memurnikan untuk pertamakalinya antibody dari
antiserum kuda terhadap pneumococcus.
C.
Reaksi Antigen Dan Antibodi
Antigen adalah zat-zat asing yang pada umumnya merupakan protein
yang berkaitan dengan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Beberapa
berupa olisakarida atau polipeptida, yang tergolong makromolekul dengan BM >
10.000. Antigen bertindak sebagai benda asing atau nonself oleh seekor ternak
dan akan merangsang timbulnya antibodi.
Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon
terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan
antigen tersebut. Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga
hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja
yang ccocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya.
Sel-sel kunci dalam respon
antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis limfosit yang
berperan, yaitu limfosit B dan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama
dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabricius pada
unggas, sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan
jaringan limfoid dalam dinding usus. Pendewasaan limfosit T terjadi di organ
timus. Sistim kebal atau imun terdiri dari dua macam, yaitu sistim kebal
humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kebal
humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah
menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang
terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi γ- globulin. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di
dalam darah.
Sistem humoral merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai
imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab). Limfosit T bertanggung jawab terhadap
kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau
jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang
menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam
darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan
seluler disebut juga “respon yang diperantarai sel”.
Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh ternak maka tubuh akan
terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon imun primer. Respon ini
memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan
imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Kalau
antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka respon yang muncul dari tubuh
berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih
cepat , lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun primer.
Imunisasi
Imunisasi adalah cara untuk membuat ternak kebal terhadap penyakit
menular. Imunisasi dibagi menjadi dua macam yaitu imunisasi pasif dan imunisasi
aktif. Kedua macam imunisasi tersebut berbeda dalam beberapa aspek berdasarkan
cara memperolehnya, sifat resistensi yang dihasilkan, cepat – lambatnya
kemunculan antibody maupun katabolismenya.
Imunisasi pasif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan
tubuh ternak dengan cara memindahkan antibodi dari ternak resisten kepada
ternak yang.rentan. Ternak rentan tidak perlu secara aktif berbuat sesuatu
untuk menjadi kebal, di dalamtubuh ternak tidak terjadi reaksi antara antigen
dengan antibodi. Resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi
perlindungan yang cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga ternak
resipien menjadi rentan kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel ingatan
yang akan melindungi ternak apabila antibodi telah habis. Pada ayam, imunitas
pasif diturunkan dari induk kepada anak ayam melalui kuning telur. Contoh-contoh
imunisasi pasif, antara lain adalah (1) antibodi dalam kolustrum yang diberikan
oleh induk sapi kepada pedet yang baru lahir. (2) antibodi yang diberikan induk
ternak lewat plasenta saat fetus masih dalam kandungan. (3) antitoksin tetanus yang
diberikan pada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap tetanus. (4) Antiserum
anthrax yang diberikan kepada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap
penyakit anthrax.
Imunisasi
Aktif
Imunisasi aktif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan
tubuh pada ternak melalui pemberian antigen pada ternak sehingga ternak
menanggapinya dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantaraan sel
atau antibodi atau keduaduanya. Pada imunisasi aktif, kekebalan tidak terbentuk
secara cepat, namun sekali terbentuk akan bertahan lama dan terbentuk sel
ingatan, sehingga memiliki kemampuan perangsangan ulang. Imunitas aktif bisa
diperoleh melalui infeksi alami atau buatan dengan vaksinasi. Imunitas aktif
bisa dirusak oleh sesuatu yang berdampak negative terhadap sistim kebal humoral
maupun seluler yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh ternak berespon
terhadap antigen.
Prinsip
Pengobatan
Pemberian obat-obatan (kemoterapeutika) pada ternak bertujuan
untuk mengatasi serangan penyakit. Pengobatan hanya digunakan setelah usaha
pencegahan dan pengendalian penyakit terlaksana dengan baik. Pertimbangan
penting untuk membantu pengobatan ternak secara efektif yang dapat diikuti,
antara lain adalah (1) diagnosis harus ditegakkan dengan isolasi dan identifikasi
penyebab penyakit melalui pemeriksaan mikrobiologis (2) bibit penyakit harus
peka terhadap obat terpilih (3) obat-obatan diberikan berdasarkan dosis dan
waktu pemberian yang tepat yang sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat obat
(4) harus dilakukan kontrol respon ternak terhadap obat yang telah diberikan
(5) pengobatan hanya dilakukan apabila diproyeksikan masih menguntungkan (6)
harus mengetahui dan mematuhi waktu henti obat (withdrawl time), untuk
menghindari residu obat. Penggunaan antibiotik di bidang peternakan sudah sangat
luas, baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak yang
ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai faktor,
termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis tertentu
digunakan.
Penggunaan
Antibiotik dalam Bidang Peternakan
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang
dihasilkan oleh berbagai jasad renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki
fungsi menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik. Penicillin
dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin dihasilkan oleh Cephalosporium.
Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh mikroorganisme disebut antibiotik
alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintetis,
seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di
laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotik semisintetis. Berdasarkan
cara kerjanya, antibiotik dibedakan dalam 4 kelompok, yaitu
(1) Antibiotik
penghambat sintesis dinding sel, misalnya Penicillin,
Bacitrasin, Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin
(2) Antibiotik perusak membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin,
Novobiosin, Gentamisin, Nistatin dan
Amfoterisin B
(3) Antibiotik penghambat sintesis protein,
misalnya Tetrasiklin, Khloramfenikol, Neomisin, Streptomisin, Kanamisin,
eritromisin, Oleandomisin, Tilosin dan Linkomisin
(4) Antibiotik penghambat sintesis asam
nukleat, misalnya Aktinomisin, Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan kemampuannya menekan
pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Antibiotik bakterisidal adalah antibiotik yang
mampu membunuh sel bakteri, contohnya: Penicillin, Streptomisin, Bacitrasin, Neomisin,
Polimiksin dan Nitrofurans. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang hanya mampu menekan
pertumbuhan sel bakteri, contohnya: sediaan Sulfa, Tetrasiklin, Khloramfenikol,
Eritromisin, Tilosin, Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi pembentukan dinding sel
atau permeabilitas membran sel bekerja sebagai bakterisid, sedangkan yang
mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai bakteriostatik. Bakterisid adalah
zat yang dapat membunuh bakteri dan bakteriostatik adalah zat yang dapat
mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa
kimia antimikroba, antara lain fenol, alkohol, halogen, logam berat, zat warna,
deterjen, senyawa ammonium kuartener, asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang
peka, antibiotik dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :
(1) Antibiotik
yang peka terhadap bakteri Gram-positif, misalnya
Penicillin, Basitrasin, Novobiosin,
Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan Oleandomisin
(2) Antibiotik yang peka terhadap bakteri
Gram-negatif, misalnya Streptomisin dan Dehidrostreptomisin, Neomisin,
Polimiksin, Colistin, Kanamisin dan Gentamisin
(3) Antibiotik
spektrum luas, seperti Ampisillin,
Amoksisillin, Tetrasiklin, Khloramfenikol, sediaan Sulfa, Nitrofurans
dan Sefalosporin.
Dampak
Negatif Penggunaan Antibiotik Di Bidang Peternakan
Residu
Antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik,
baik yang berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke
dalam tubuh individu, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari :
penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di
atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi
jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut,
penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan
oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk asli maupun
metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian
tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang memang berfungsi untuk
hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi
akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan
lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun
metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu
tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada
kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak
sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka
eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam
waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam
tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi residu obat adalah akumulasi
dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian
obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat
ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan
obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed additive, ataupun
hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu
usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan
bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang digunakan
untuk mencegah kerusakan bahan pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida,
fungisida dan antiparasitika.
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa)
telah digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan.
Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu
pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan
farmakodinamik serta patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang
besar, baik berupa bahaya terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia
yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian
antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga
tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam
tubuh tidak dapat pulih kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi
yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan
yang lebih hebat dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam
dosis yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian
antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh
flora yang berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak
terganggu serta terjadi super infeksi (infeksi baru). Hal lain yang perlu untuk
dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya diekskresi dari
jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti
sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai bentuk residu. Terdapat
beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah pengolahan.
Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin,
khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Resistensi
Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik dapat terjadi karena
beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim
yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari
mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site pada bakteri sehingga
menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer
genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara
strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bias
terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam
dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan
dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan
jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan
antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama,
namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari
antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan
secara rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif, maka muncul larangan
terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal
dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana
tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa. Resistensi
bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan genetik
dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi
antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang
peka dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini
terjadi karena penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui
cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam
jaringan untuk menghambat populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi
tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang secara
simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat yang
lain. Pada awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi
dengan penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang
sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat
mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki
seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik.
Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi
genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies
pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel
(eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar