Sabtu, 17 November 2012

Imunologi dalam Bidang Peternakan


IMUNOLOGI DALAM BIDANG PETERNAKAN


A.    Pengertian Imunologi
Imunologi adalah  (immunis : bebas, logos:ilmu), ilmu yang mempelajari system pertahanan tubuh/cabang ilmu biomedis luas yang meliputi studi tentang semua aspek dari sistem kekebalan pada semua organisme. Ini berkaitan dengan, antara lain, fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan penyakit, malfungsi dari sistem kekebalan pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hypersensitivities, defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari sistem kekebalan tubuh in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki aplikasi dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan, dan dengan demikian lebih lanjut dibagi.
B.     Sejarah Imunologi
Tahap Empirik
Mithridates Eupatoris VI seorang raja dari Pontis Yunani, (132 – 63 SM) dianggap ahli imunologi pertama. Cara: meminum racun sedikit demi sedikit sehingga orang menjadi kebal terhadap racun. Dikenal dengan paham mithridatisme. Pada abad ke 12, bangsa Cina mengenali bagaimana mengatasi penyakit cacar. Cairan atau kerak dari orang yang terkena cacar tapi tidak berat apabila dioleskan pada kulit orang sehat dapat melindungi terhadap cacar. Begitu pula orang timur tengah menggoreskannya pada orang dengan membubuhkan bubuk pada penderita cacar yang tidak parah akan melindungi keadaan yang lebih parah. Metode ini dikenal dengan: tindakan variolasi. Dr Edward Jenner (1749 – 1823), menggunakan bibit penyakit cacar dari sapi untuk ditularkan pada manusia. Mulailah penggunaan vaksinasi untuk menggantikan istilah variolasi. Vacca: sapi.
Tahap Ilmiah
Louis Pasteur dan kawan-kawan (1822 – 1895), meneliti kemungkinan pencegahan penyakit dengan cara vaksinasi melalui penggunaan bibit penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu. Pada waktu itu digunakan untuk mengatasi penyakit kholera yang disebabkan Pasteurella aviseptica. Pfeifer (1880) murid Koch meneliti Vibrio cholerae untuk mengatasi wabah penyakit kholera. ¨ Elie Metchnikof (1845 – 1916) mengungkapkan bagaimana mekanisme efektor bekerja dalam tubuh terhadap benda asing. Memperkuat pendapat Koch dan Neisser. Adanya mekanisme efektor dari sel leukosit untuk mengusir bakteri dinamakan proses fagositosis. Sel tubuh yang memiliki kemampuan fagositosis dinamakan fagosit.
Fodor (1886), ilmuwan pertama yang mengamati pengaruh langsung dari serum imun tehadap mikroba tanpa campur tangannya komponen seluler. Penemuan ini diperkuat oleh Behring dan Kitasato (1890) yang menunjukkan bahwa serum dapat menetralkan aktifitas tetanus dan difteri. Jules Bordet (1870 – 1961) mengemukakan bahwa untuk lisis diperlukan 2 komponen yang terdapat dalam serum imun. Sebuah diantaranya bersifat termostabil yang dikemudian hari ternyata adalah antibody sedangkan komponen lainnya bersifat termolabil yang dinamakan komplemen. Pada saat itulah mulai diperkenalkan istilah antigen untuk memberikan nama bagi semua substansi yang dapat menimbulkan reaksi dalam tubuh terhadapnya. Dan juga istilah antibody untuk substansi dalam serum yang mempunyai aktifitas menanggulangi terhadap antigen yang masuk ke tubuh.
Penemuan oleh Fodor mengawali penelitian untuk mendukung teori mekanisme melalui imunitas humoral. Wright dan Douglas (1903), mengatakan proses fagositosis akan dipermudah apabila ditambahkan serum imun. Bahan yang diduga dikandung dalam serum itu dinamakan opsonin. Jadi mekanisme efektor seluler dan humoral bersifat saling memperkuat. Pada saat bersamaan ditemukan fenomena lain dalam imunologi yaitu adanya penyimpangan dalam tubuh seseorang karena bereaksi terlalu peka. Pirquet membedakan fenomena tsb dalam bentuk “serum sickness”, alergi dan anafilaksis.
Sampai Tahun 1940- an banyak dilakukan penelitian tentang aplikasi    dan pengembangan tentang fenomena imunologi khususnya dalam penyediaan serum imun (anti tetanus, anti rabies dll), reagen untuk diagnostik dan program vaksinasi. Felton, menemukan fenomena lain yaitu bahwa dalam tubuh mungkin dapat timbul tidak adanya respon imun terhadap suatu subtansi atau antigen tertentu. Fenomena ini disebut toleransi imunologik. Felton berhasil memurnikan untuk pertamakalinya antibody dari antiserum kuda terhadap pneumococcus.

C.    Reaksi Antigen Dan Antibodi

Antigen adalah zat-zat asing yang pada umumnya merupakan protein yang berkaitan dengan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Beberapa berupa olisakarida atau polipeptida, yang tergolong makromolekul dengan BM > 10.000. Antigen bertindak sebagai benda asing atau nonself oleh seekor ternak dan akan merangsang timbulnya antibodi.
Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen tersebut. Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang ccocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya.
Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis limfosit yang berperan, yaitu limfosit B dan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabricius pada unggas, sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan jaringan limfoid dalam dinding usus. Pendewasaan limfosit T terjadi di organ timus. Sistim kebal atau imun terdiri dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kebal humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi γ- globulin. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah.
Sistem humoral merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab). Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan seluler disebut juga “respon yang diperantarai sel”.
Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh ternak maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Kalau antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka respon yang muncul dari tubuh berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat , lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun primer.

Imunisasi
Imunisasi adalah cara untuk membuat ternak kebal terhadap penyakit menular. Imunisasi dibagi menjadi dua macam yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Kedua macam imunisasi tersebut berbeda dalam beberapa aspek berdasarkan cara memperolehnya, sifat resistensi yang dihasilkan, cepat – lambatnya kemunculan antibody maupun katabolismenya.
Imunisasi pasif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh ternak dengan cara memindahkan antibodi dari ternak resisten kepada ternak yang.rentan. Ternak rentan tidak perlu secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi kebal, di dalamtubuh ternak tidak terjadi reaksi antara antigen dengan antibodi. Resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi perlindungan yang cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga ternak resipien menjadi rentan kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel ingatan yang akan melindungi ternak apabila antibodi telah habis. Pada ayam, imunitas pasif diturunkan dari induk kepada anak ayam melalui kuning telur. Contoh-contoh imunisasi pasif, antara lain adalah (1) antibodi dalam kolustrum yang diberikan oleh induk sapi kepada pedet yang baru lahir. (2) antibodi yang diberikan induk ternak lewat plasenta saat fetus masih dalam kandungan. (3) antitoksin tetanus yang diberikan pada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap tetanus. (4) Antiserum anthrax yang diberikan kepada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap penyakit anthrax.

Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh pada ternak melalui pemberian antigen pada ternak sehingga ternak menanggapinya dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantaraan sel atau antibodi atau keduaduanya. Pada imunisasi aktif, kekebalan tidak terbentuk secara cepat, namun sekali terbentuk akan bertahan lama dan terbentuk sel ingatan, sehingga memiliki kemampuan perangsangan ulang. Imunitas aktif bisa diperoleh melalui infeksi alami atau buatan dengan vaksinasi. Imunitas aktif bisa dirusak oleh sesuatu yang berdampak negative terhadap sistim kebal humoral maupun seluler yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh ternak berespon terhadap antigen.

Prinsip Pengobatan
Pemberian obat-obatan (kemoterapeutika) pada ternak bertujuan untuk mengatasi serangan penyakit. Pengobatan hanya digunakan setelah usaha pencegahan dan pengendalian penyakit terlaksana dengan baik. Pertimbangan penting untuk membantu pengobatan ternak secara efektif yang dapat diikuti, antara lain adalah (1) diagnosis harus ditegakkan dengan isolasi dan identifikasi penyebab penyakit melalui pemeriksaan mikrobiologis (2) bibit penyakit harus peka terhadap obat terpilih (3) obat-obatan diberikan berdasarkan dosis dan waktu pemberian yang tepat yang sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat obat (4) harus dilakukan kontrol respon ternak terhadap obat yang telah diberikan (5) pengobatan hanya dilakukan apabila diproyeksikan masih menguntungkan (6) harus mengetahui dan mematuhi waktu henti obat (withdrawl time), untuk menghindari residu obat. Penggunaan antibiotik di bidang peternakan sudah sangat luas, baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai faktor, termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis tertentu digunakan.

Penggunaan Antibiotik dalam Bidang Peternakan
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki fungsi menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik. Penicillin dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin dihasilkan oleh Cephalosporium. Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh mikroorganisme disebut antibiotik alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintetis, seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotik semisintetis. Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibedakan dalam 4 kelompok, yaitu

(1) Antibiotik penghambat sintesis dinding sel, misalnya Penicillin, Bacitrasin, Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin
(2) Antibiotik perusak membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin, Novobiosin, Gentamisin,    Nistatin dan Amfoterisin B
(3) Antibiotik penghambat sintesis protein, misalnya Tetrasiklin, Khloramfenikol, Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, eritromisin, Oleandomisin, Tilosin dan Linkomisin
(4) Antibiotik penghambat sintesis asam nukleat, misalnya Aktinomisin, Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan kemampuannya menekan pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Antibiotik bakterisidal adalah antibiotik yang mampu membunuh sel bakteri, contohnya: Penicillin, Streptomisin, Bacitrasin, Neomisin, Polimiksin dan Nitrofurans. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang hanya mampu menekan pertumbuhan sel bakteri, contohnya: sediaan Sulfa, Tetrasiklin, Khloramfenikol, Eritromisin, Tilosin, Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi pembentukan dinding sel atau permeabilitas membran sel bekerja sebagai bakterisid, sedangkan yang mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai bakteriostatik. Bakterisid adalah zat yang dapat membunuh bakteri dan bakteriostatik adalah zat yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa kimia antimikroba, antara lain fenol, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen, senyawa ammonium kuartener, asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang peka, antibiotik dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :
(1) Antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-positif, misalnya Penicillin, Basitrasin,  Novobiosin, Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan Oleandomisin
(2) Antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-negatif, misalnya Streptomisin dan Dehidrostreptomisin, Neomisin, Polimiksin, Colistin, Kanamisin dan Gentamisin
(3) Antibiotik spektrum luas, seperti Ampisillin, Amoksisillin, Tetrasiklin, Khloramfenikol, sediaan Sulfa, Nitrofurans dan Sefalosporin.

Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik Di Bidang Peternakan

Residu Antibiotik

Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed additive, ataupun hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan bahan pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika.
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan. Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa bahaya terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam tubuh tidak dapat pulih kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih hebat dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam dosis yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh flora yang berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu serta terjadi super infeksi (infeksi baru). Hal lain yang perlu untuk dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai bentuk residu. Terdapat beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol dan benzyl-penicillin.

Resistensi Bakteri

Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bias terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia. Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama, namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan secara rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif, maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa. Resistensi bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang peka dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi karena penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain. Pada awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi dengan penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel (eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar