Selasa, 09 Oktober 2012

Faktor yang Mempengaruhi Reproduksi

A. GENETIK
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kepada adanya kemajiran ternak betina. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran pada ternak tersebut.  Angka kelahiran dan pertambahan populasi ternak adalah masalah reproduksi atau perkembangbiakan ternak. Penurunan angka kelahiran dan penurunan populasi ternak terutama dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi atau kesuburan yang rendah dan kematian prenatal.
Penurunan kualitas dan kuantitas sapi dapat menhambat pertumbuhan perekonomian usaha peternakan sapi di Indonesia. Sehingga dalam usaha peternakan salah satu kunci memperoleh keberhasilan adalah dengan kualitas bibit yang digunakan, bibit mempunyai kualitas yang baik, genetik yang baik, mempunyai ciri fisik yang baik. Dengan bibit yang baik dan berkualitas maka akan meningkatkan produktivitas hasil ternak dari tujuan usaha yang dijalankan, namun bibit bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan usaha peternakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan adalah genetik dan linkungan, bibit yang digunakan dalam pembibitan ternak dapat berasal dari bibit dari dalam (lokal) maupun bibit dari luar negeri, tergantung dari tujuan pembibitan apakah akan digunakan sebagai produk akhir atau dikembangkan lagi. Untuk menghasilkan bibit-bibit yang baik dapat dilakukan dengan beberapa cara: Melakukan Seleksi Seleksi dilakukan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik yang baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta memilih ternak yang kurang baik untuk disingkirkan dan dipelihara dengan dipisahkan dari bibit yang baik. Penselekian dapat dilakukan dengan melihat genetik dan sifat fisik ternak. Perkawinan Silang Dalam Silang Dalam adalah perkawinan antara dua individu ternak yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (keluarga). Tujuan dari silang dalam ini adalah untuk mencari (menghasilkan) individu yang sama jenisnya. Misalnya Sapi Simental dikawinkan dengan bangsa limosin akan menghasilkan pertumbuhan yang baik pada pertumbuhannya, tetapi apabila dilakukan penyilangan secara terus menerus maka akan menghasilkan keturunan yang kurang baik
Kebijakan pemerintah untuk mendorong agar usaha pembibitan ternak sapi dapat berkembang pesat antara lain adalah: (i) dukungan untuk menghindari dari ancaman produk luar yang tidak ASUH, ilegal, dan barang-barang dumping, melalui kebijakan tarif maupun non-tarif; (ii) dukungan dalam hal kepastian berusaha, keamanan, terhindar dari pungutan liar dan pajak yang berlebihan; (iii) dukungan dalam hal pembangunan sarana pendukung, kelembagaan, permodalan, pemasaran, persaingan usaha yang adil, promosi, dan penyediaan informasi, serta (iv) dukungan agar usaha peternakan dapat berkembang secara integratif dari hulu-hilir, melalui pola kemitraan, inti-plasma, dan memposisikan yang besar maupun kecil dapat tumbuh dan berkembang secara adil. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk kegiatan budidaya bagi 200.000 tenaga kerja, serta satu juta tenaga kerja dalam kegiatan hulu dan hilir. Dengan demikian pengembangan agribisnis sapi di Indonesia akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dalam hal ketahanan pangan, lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, devisa, serta perekonomian nasional.     
Seleksi genetik bagi fertilitas betina
Penurunan genetik pada tingkat kebuntingan dan ukuran fertilitas induk betina yang digunakan untuk evaluasi genetik pada indukan di US, cenderung stabil pada waktu dimana evaluasi indukan untuk lamanya produksi telah tersedia. Walaupun seleksi secara tidak langsung untuk meningkatkan fertilitas yang berbasis evaluasi genetik pada lamanya produksi dapat membantu, seleksi langsung untuk meningkatkan fertilitas lebih diperlukan. Di US, evaluasi genetik pada tingkat kebuntingan sapi diperkenalkan pada tahun 2003. Data yang dimasukkan antara lain lamanya hari, yang dihitung sejak tanggal dikawinkannya dan calving interval yang disesuaikan dengan 21 hari untuk tujuan evaluasi genetik. Calving interval merupakan efisiensi reproduksi yang diukur dengan waktu pada peternakan sapi perah komersial di US yang dihitung dengan cara jumlah sapi yang bunting pada perkawinan selama periode 21 hari yang diberikan dibagi dengan jumlah sapi yang telah dikawinkan pada awal periode.
Kelompok yang terpilh untuk dikawinkan meliputi yang telah melewati periode tunggu yang sengaja dibuat, namun belum bunting. Meskipun tingkat kebuntingan pada periode 21 hari secara khas digunakan sebagai ‘ukuran kelompok’ dari performa reproduksi, evaluasi indukan untuk sifat ini dapat diintrepretasikan sebagai perbedaan yang diharapkan pada periode kebuntingan 21 hari antara kelompok-kelompok anakan dari induk yang berbeda. (observasi tingkat kebuntingan 21 hari secara individu dapat berupa jumlah kesempatan yang dibutuhkan untuk terjadinya kebuntingan pada suatu kelompok). Perbedaan antar indukan sangatlah dramatis karena tingkat kebuntingan pada induk Holstein yang tertinggi dan terendah memiliki perbedaan sebesar 7,2%. Karena perbedaan 1% pada tingkat kebuntingan berarti kira-kira ada selisih 4 hari, anakan yang berasal dari induk-induk yang memiliki tingkat kebuntingan tertinggi memiliki perbedaan 29 hari dengan anakan yang berasal induk yang memiliki tingkat kebuntingan terendah per periode laktasi. Rata-rata tingkat kebuntingan antar jenis yang berbeda sebesar 4,9% berarti terdapat selisih 20 hari per periode laktasi. Perbedaan antar jenis juga ada dimana tingkat kebuntingan untuk jenis Jersey 4,6% lebih tinggi dari jenis Holstein atau Brown Swiss.
Tingkat kebuntingan pada sapi-sapi keturunan telah disatukan dengan seluruh index seleksi utama oleh para peternak di US, dengan bobot sebesar 5-7% dari total nilai ekonomi hingga perbaikan genetik pada fertilitas betina dapat diharapkan. Lebih jauh lagi, korelasi genetik yang terestimasi, sekalipun bersifat antagonis, jumlahnya cukup sedikit untuk menjamin tersedianya beberapa jenis keturunan yang memiliki tingkat produksi dan fertilitas yang tinggi. Perbaikan tambahan akan dibuat dalam evaluasi genetik untuk tingkat kebuntingan jenis keturunan dimasa depan, dimana Laboratorium Program Perbaikan Hewan USDA (Beltsville, MD) sedang mengembangkan database peristiwa reproduksi, meliputi pemerikasaan kebuntingan bagi dokter hewan, data sinkronisasi hormonal, data indukan alami, dan database tanda-tanda sapi-sapi yang tidak dapat dibiakkan dan akan diafkir pada akhir laktasi.           
Seleksi genetik bagi kesuburan pejantan   
Kemunduran dalam fertilitas betina menjadi perhatian utama dari dua bidang, baik para peneliti maupun para peternak, sehingga program perbaikan genetik saharusnya difokuskan untuk mengukur fertilitas betina, seperti tingkat lamanya hari dan tingkat kebuntingan keturunan. Bagaimanapun, banyak peternak yang tertarik dengan evaluasi fertilitas pejantan dari induk-induk yang tersedia untuk Inseminasi Buatan. Di US, ada dua sistem regional untuk mengevaluasi fertilitas pejantan. Yang pertama, menunjukkan tingkat konsepsi relatif yang terestimasi (Dairy Record Management system, Raleigh, NC), meliputi data dari peternakan-peternakan kecil hingga menengah di setengah US bagian timur dan didasarkan pada angkat tak kembalinya estrus setelah diinseminasi pertama kali pada hari ke-70. yang kedua, merupakan Western Bull Fertility Analysis (Agri-Tech Analytics, Visalia, CA), meliputi data dari peternakan besar di bagian barat US dan didasarkan pada angka konsepsi pada hari ke-75 yang ditetapkan oleh dokter hewan (hingga 5 kali inseminasi pada tiap sapi) per laktasi. Estimasi hasil dari fertilitas pejantan digunakan secara luas oleh para peternak ketika membeli semen. Walaupun terdapat perbedaan sebesar 4-5% antara pejantan tertinggi dan terendah, dimana sebagian besar variasi pada fertilitas pejantan berasal dari pejantan yang diafkir dengan fertilitas yang kurang dan pembuangan ejakulat yang tidak memenuhi standar laboratorium.
Seleksi Genetik untuk kesehatan hewan    
Saat ini, hanya Negara-negara Skandinavia yang memiliki catatan data nasional dan system evaluasi genetik untuk sifat-sifat seperti mastitis klinis dan gangguan-gangguan pada sistem digesti, lokomotif dan reproduksi. Bagaimanapun, penelitian saat ini oleh Zwald dkk. (2004a,b) mengindikasikan bahwa data kesehatan yang diperoleh dari formulir yang terdapat di peternakan dan diolah menggunakan software program manajemen ternak dapat digunakan lebih efektif untuk tujuan seleksi genetik. Dengan mengambil data dari peternakan komersial besar yang diolah menggunakan Software Program Manajemen Dairy Comp 305 (Valley Agriculture Software, Tulare, CA), PCDART (Dairy Records Management Systems, Raleigh, NC), atau DHI-Plus® (DHI-Provo, Provo, UT), Zwald dkk. (2004a,b) mengelompokkan masalah kesehatan hewan yang tercatat oleh peternak menjadi enam kategori: displasia abomasums, ketosis, mastitis, kepincangan, cysta ovarium dan metritis/retensi plasenta. Tingkat insidensi saat laktasi adalah bervariasi dari 3% untuk displasia abomasum hingga 21% untuk kasus metritis/retensi plasenta, dan mayoritas meluas selama 60 hari postpartus.
Estimasi heritabilitas 0,14 untuk displasia abomasum; 0,06 pada ketosis; 0,09 pada mastitis; 0,04 pada kepincangan; 0,04 pada cysta ovaria dan 0,06 pada metritis/ retensi plasenta. Prediksi kemungkinan terkena penyakit (per laktasi) pada sapi-sapi keturunan bervariasi dari 1,7% hingga 6,1% pada kasus displasia abomasum; 6,3% hingga 13,2% pada kasus ketosis; 12,9% hingga 25,9% pada kasus mastitis; 7,7% hingga 13,1% pada kasus kepincangan; 5,9% hingga 9,1% pada kasus cysta ovaria dan 15,1% hingga 27,1% pada kasus metritis/retensi plasenta. Korelasi genetik antar gangguan bervariasi dari sedang hingga positif, yaitu antara +0,10 dan +0,40, dimana korelasi antar jenis yang diprediksikan menurunkan kemampuannya untuk melawan gangguan kesehatan spesifik dan diprediksi menurunkan kemampuannya terhadap tingkat kebuntingan sapi-sapi keturunan. Hal ini mengindikasikan bahwa seleksi genetik memungkinkan untuk meningkatkan kesehatan secara menyeluruh, sebagaimana ia dapat melawan penyakit-penyakit dan gangguan-gangguan yang spesifik.   
Sangat penting untuk dicatat bahwa heterogenitas diagnosa, perawatan dan pencatatan terhadap penyakit-penyakit dan gangguan-gangguan spesifik dapat timbul antar petenakan yang berbeda. Karena evaluasi genetik pada indukan ternak didasarkan pada penyimpangan antara performa dari keturunannya dengan performa ternak lain dalam satu kawanan pada waktu yang sama, dan karena turunan dari keturunan induk yang diuji didistribusikan ke dalam ratusan ternak, kesalahan kecil atau penyimpangan yang terjadi dalam kelompok yang lebih kecil cenderung tidak mempengaruhi estimasi sifat-sifat unggul genetik induk. Namun, validasi dari kualitas dan kelengkapan data dari suatu peternakan sangant penting. Secara keseluruhan masa depan cerah untuk pelaksanaan program seleksi untuk meningkatkan kesehatan hewan, dan tambahan terhadap fertilitas dapat diharapkan.








B. MUSIM
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus “menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah peternakan adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan musim kering yang panjang. Fluktuasi temperatur diavual dan musim sangat besar, lengas udara sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit yang cerah. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm, hujan dapat turun lebih lebatt meskipun kejadian itu sangat jarang.
Iklim yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi tergantung dari faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan (tetap) seperti altitude (letak daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variabel) seperti aliran air laut, angin, curah hujan, drainase dan vegetasi.                Contoh, 2 domba, A & B lahir di bulan Januari dan April masing-masing. Waktu yang diperlukan untuk domba-domba untuk mencapai pubertas adalah 6 bulan, domba A tidak dapat mencapai pubertas pada bulan Juni karena, pada bulan Juni merupakan musim panas.Sedangkan B domba lahir pada bulan April akan mencapai pubertas pada bulan September, yang merupakan musim berkembang biak bagi domba yang diperkirakan pada bulan September tersebut kaya akan pakan untuk anak hewan tersebut. Jadi musim berpengaruh pada reproduksi.

D. MAKANAN
Pengaruh Energi Terhadap Performans Reproduksi
Status gizi / nutrisi seekor ternak dari lahir sampai dewasa dapat berpengaruh terhadap total performans reproduksinya melalui pengaruhnya terhadap umur pada saat pubertas yang akan berdampak terus terhadap reproduksi pada saat dewasa. Pada sapi dan domba telah dibuktikan bahwa kekurangan nutrisi pada saat pemeliharaan dapat memperlambat waktu pubertas dan pengaruh residunya terhadap fertilitas (kemampuan untuk melahirkan) pada waktu dewasa.
Respon reproduksi terhadap suplai energi dalam jangka waktu pendek, sudah banyak dilakukan pada ternak domba , dimana pemberian pakan tambahan sebelum dan sesudah peri¬ode kawin (metode "flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak.
Pembatasan pakan pada periode akhir kebuntingan menghasilkan penurunan skor kondisi tubuh ( yang merefleksikan cadangan lemak tubuh) dan konsekuensinya berdampak terhadap munculnya lagi berahi setelah melahirkan. Skor kondisi tubuh yang baik pada kawin setelah melahirkan adalah diatas dari nilai 5 (skala 1 = sangat kurus sampai 9 = sangat gemuk), yang telah dibuktikan dapat menghasilkan tingkat kebuntingan lebih dari 90 % pada sapi potong dengan sistem ranch . Skor kondisi tubuh merupakan indicator yang sangat berguna dan praktis untuk melihat status energi dan performans untuk kawin kembali setelah melahirkan.
Kekurangan energi sebelum melahirkan ( dibawah kebutuhan hidup pokok) sebaiknya dihindarkan karena hal ini dapat menyebabkan cekaman metabolic dengan gejala subklinis ketosis dan gangguan hati , yang diikuti oleh tingginya kejadian tertinggalnya plasenta, endometritis dan rendahnya tingkat kebuntingan setelah masa laktasi. Pengaruh negatif dari ketersedian energi yang tidak cukup akan diperbesar oleh kekurangan energi setelah melahirkan. Namun demikian, kelebihan energi pada periode kering sapi perah juga dapat berdampak buruk terhadap pemulihan kondisi uterus dan tingkat kebuntingan paska melahirkan dan menimbulkan gejala subklinis ketosis dan paresis pueperalis.      
Pada dua sampai tiga minggu masa laktasi, energi dari berbagai sumber sangat penting untuk memulai aktivitas ovarium dan berhubungan dengan masa involusi uterus. Kekurangan energi akan menghasilkan berahi tenang, tertundanya ovulasi dan folikel syst.
Pada ternak jantan, seperti halnya pada sapi betina, kelebihan atau kekurangan energi harus dihindari karena kedua kondisi tersebut berdampak negative terhadap kualitas semen dan proses spermatogenesis. Telah dibuktikan kekurangan energi yangekstrim akan menyebabkan terlambatnya masa pubertas pada sapi potong dan dapat menghambat produksi spermatozoa. Pejantan yang diberi ransum berenergi tinggi mempunyai kualitas semen yang lebih rendah dibanding dengan pejantan yang diberi ransum berenergi sedang. Peningkatan energi ransum dapat mempengaruhi termoregulasi testis dan skrotum melalui pengurangan sejumlah panas yang dapat diradiasikan dari leher skrotum , sehingga terjadi peningkatan suhu testis dan skrotum yang berdampak terhadap penurunan produksi sperma dan kualitas sperma.  
Pengaruh Protein Terhadap Performans Reproduksi
Pada ternak ruminansia , sebagian besar kebutuhan proteinnya dapat disuplai oleh produksi protein sendiri ( 70% ) dalam arti protein diproduksi melalui protein mikroba . Namun demikian, data dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan pada sapi dewasa dan heifer dipengaruhi oleh konsumsi protein pada waktu pra - dan paska melahirkan. Data dari sapi potong sedang laktasi dan sapi dara yang menerima ransum protein rendah dengan berbagai level energi selama periode kebuntingan mempunyai tingkat kebuntingan yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat ransum protein tinggi. Hal yang sama terjadi pada kelompok sapi yang sedang menyusui, tingkat kebuntingan sangat dipengaruhi oleh kecukupan protein dalam ransumnya. Namun demikian pengaruh kelebihan protein terhadap “services per conception (S/C) ” dan “ days open “ pada sapi perah tidak konsisten. Sebagian peneliti melaporkan bahwa kelebihan protein ( > 19 % dalam ransum) cenderung meningkatkan angka service per conception sedangkan sebagian lainya melaporkan kelebihan protein tidak berpengaruh terhadap angka S/C.
Kandungan protein dalam ransum juga dapat meningkatkan konsumsi total ransum (dalam arti konsumsi bahan kering ransum ) sapi perah dengan kisaran dari 0 samapai 2 kg bahan kering / hari.  
Pengaruh mineral dan Vitamin terhadap Performans Reproduksi       
Kebutuhan makromineral Kalsium dan Phosfor untuk ternak ruminansia lebih ditentukan oleh perbandingan kedua mineral tersebut. Telah dibuktikan bahwa frekuensi penyakit endometritis meningkat bila ratio Ca : P menurun Kalsium berperanan setelah melahirkan untuk proses involusi uterus. Sebaiknya rasio perbandingan Ca:P dipertahnkan dalam perbandingan 2: 1 dengan suplai P sebaiknya lebih tinggi dalam keadaan strees. Sedangkan untuk perbandingan Na : K dipertahankan dalam rasio 10 : 1., kekurangan Natrium berhubungan dengan kelebihan Kalium dapat mengurangi tingkat kesuburan melalui siklus estrus tidak teratur, endometritis dan folikel syste. Suplementasi Natrium melalui garam merupakan cara yang murah dan sebaiknya diberikan secara ad libitum.      
Pada ternak ruminansia umumnya mengkonsumsi vitamin A dalam bentuk tidak aktif- ß carotene atau Provitamin A- , kecuali jika diberikan suplemen biji-bijian berbasis konsentrat. Provitamin A diubah menjadi bentuk aktif vitamin A dalam usus kecil dan bersama dengan suplemen vitamin A yang telah terbentuk disimpan dalam hati, otot, telur dan susu untuk digunakan berbagai macam fungsi, termasuk yang berhubungan dengan fenomena reproduksi. Gangguan reproduksi yang dapat diamati dengan adanya kekurangan vitamin A pada ternak adalah terlambatnya pubertas, rendahnya tingkat kebuntingan, tingginya kematian embrio, tingginya kematian anak baru lahir karena lemah, kebutaan dan berkurangnya libido pada jantan serta pada ternak babi memperbaiki jumlah kelahiran per induk


















E. MANAJEMEN
    Manajemen adalah pengaturan atau pengelolaan terhadap ternak agar ternak dapat berproduksi dengan baik. 
Penyiapan Sarana dan Peralatan
Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.       
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.     Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahanbahan lainnya.        
Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).
Pembibitan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai eturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelokkelok, puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak.           
Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar, (d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4 dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat.       
Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya.
Pemeliharaan
  1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
    Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas. Sapi perah yang dipelihara dalam naungan (ruangan) memiliki konsepsi produksi yang lebih tinggi (19%) dan produksi susunya 11% lebih banyak daripada tanpa naungan. Bibit yang sakit segera diobati karena dan bibit yang menjelang beranak dikering kandangkan selama 1-2 bulan.
  2. Perawatan Ternak
    Ternak dimandikan 2 hari sekali. Seluruh sapi induk dimandikan setiap hari setelah kandang dibersihkan dan sebelum pemerahan susu. Kandang harus dibersihkan setiap hari, kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Setelah kandang dibersihkan, sebaiknya lantainya diberi tilam sebagai alas lantai yang umumnya terbuat dari jerami atau sisa-sisa pakan hijauan (seminggu sekali tilam tersebut harus dibongkar).

    Penimbangan dilakukan sejak sapi pedet hingga usia dewasa. Sapi pedet ditimbang seminggu sekali sementara sapi dewasa ditimbang setiap bulan atau 3 bulan sekali. Sapi yang baru disapih ditimbang sebulan sekali. Sapi dewasa dapat ditimbang dengan melakukan taksiran pengukuran berdasarkan lingkar dan lebar dada, panjang badan dan tinggi pundak.
  3. Pemberian Pakan
    Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a)   sistem penggembalaan (pasture fattening)
b)   kereman (dry lot fattening)
c0  kombinasi cara pertama dan kedua.
  1. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, alfalfa, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.         
    Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).          
Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan per hari.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
5.      Pemeliharaan Kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.


F. TEKNOLOGI
            Dalam upaya memperoleh bibit yang berkualitas pola dan teknik pengembangbiakan yang terprogram memegang peranan yang sangat menentukan. Teknologi dalam bidang reproduksi saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan dengan mempertimbangkan berbagai segi teknik pengembangbiakan yang dilaksnakan di Baturraden saat ini adalah :
a). Inseminasi Buatan ( IB ).  
Pelaksanaan IB di Baturraden dilakukan dengan mempergunakan FS elite bull. Pengaturan penggunaan pejantan/FS dilakukan untuk meningkatkan kualitas keturunan dan menghindarkan terjadinya perkawinan sedarah ( In breeding ).
b). Transfer Embryo ( TE )     
Merupakan teknik paling cepat dalam upaya peningkatan mutu genetik kelompok ternak tertentu. Keterbatasan berupa mahalnya biaya pelaksanaan TE dan angka keberhasilan yang masih rendah sekaligus resiko ikutan berupa penurunan kesuburan reproduksi ternak pasca flushing menjadi tantangan bagi BBPTU Baturraden dan BET Cipelang selaku institusi teknis yang bertanggungjawab dalam aplikasi TE di Indonesia.
Dalam rangka mendukung pengembangan TE di Indonesia BBPTU Baturraden mengalokasikan 20% dari populasi induk dan dara yang akan di pergunakan sebagai donor dan resipien. Ternak Pengganti ( Replacement Stock ) diprogram secara teratur setiap tahun
Replacement ternak diperuntukkan agar porposi populasi ternak produktif dapat terjaga, hal ini sangat penting untuk memenuhi target produksi bibit yang telah diterapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010a. Penyakit Reproduksi. http://duniaveteriner.com (Diakses 25 April 2012).

Anonim. 2010b. Pengaruh Nutrisi Terhadap Performans. http://ternak-ruminansia.blogspot.com (Diakses 30 April 2012).

Anonim. 2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap Pisiologis. http://be-ef.blogspot.com (Diakses 30 April 2012).

Anonim. 2012a. Usaha Dalam Meningkatkan Performa Reproduksi melalui Seleksi Genetik. http://www.koas.vetklinik.com (Diakses 30 April 2012).

Anonim. 2012b. Peternakan Petunjuk Teknis. http://www.deptan.go.id (Diakses 25 April 2012).

Arsyad dan Yudistira, BS. 2012. Penanganan Kesehatan Hewan (Kasus Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi). Dinas Peternakan dan Kesehatan Ternak. Lampung.

Junaedi. 2011. Manajemen Pembibitan Ternak Ruminansia http://peternakanjunaedi.blogspot. com (Diakses 30 April 2012).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar