A. GENETIK
Usaha
peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang
mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala tersebut
adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kepada adanya kemajiran ternak
betina. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran pada ternak
tersebut. Angka kelahiran dan
pertambahan populasi ternak adalah masalah reproduksi atau perkembangbiakan
ternak. Penurunan angka kelahiran dan penurunan populasi ternak terutama
dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi atau kesuburan yang rendah dan kematian
prenatal.
Penurunan
kualitas dan kuantitas sapi dapat menhambat pertumbuhan perekonomian usaha
peternakan sapi di Indonesia. Sehingga dalam usaha peternakan salah satu kunci
memperoleh keberhasilan adalah dengan kualitas bibit yang digunakan, bibit
mempunyai kualitas yang baik, genetik yang baik, mempunyai ciri fisik yang
baik. Dengan bibit yang baik dan berkualitas maka akan meningkatkan
produktivitas hasil ternak dari tujuan usaha yang dijalankan, namun bibit bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan usaha peternakan. Salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan adalah genetik dan linkungan,
bibit yang digunakan dalam pembibitan ternak dapat berasal dari bibit dari
dalam (lokal) maupun bibit dari luar negeri, tergantung dari tujuan pembibitan
apakah akan digunakan sebagai produk akhir atau dikembangkan lagi. Untuk
menghasilkan bibit-bibit yang baik dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Melakukan Seleksi Seleksi dilakukan untuk memilih ternak yang dianggap
mempunyai mutu genetik yang baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta
memilih ternak yang kurang baik untuk disingkirkan dan dipelihara dengan
dipisahkan dari bibit yang baik. Penselekian dapat dilakukan dengan melihat
genetik dan sifat fisik ternak. Perkawinan Silang Dalam Silang Dalam adalah
perkawinan antara dua individu ternak yang masih mempunyai hubungan kekerabatan
(keluarga). Tujuan dari silang dalam ini adalah untuk mencari (menghasilkan) individu
yang sama jenisnya. Misalnya Sapi Simental dikawinkan dengan bangsa limosin
akan menghasilkan pertumbuhan yang baik pada pertumbuhannya, tetapi apabila
dilakukan penyilangan secara terus menerus maka akan menghasilkan keturunan
yang kurang baik
Kebijakan
pemerintah untuk mendorong agar usaha pembibitan ternak sapi dapat berkembang
pesat antara lain adalah: (i) dukungan untuk menghindari dari ancaman produk
luar yang tidak ASUH, ilegal, dan barang-barang dumping, melalui kebijakan
tarif maupun non-tarif; (ii) dukungan dalam hal kepastian berusaha, keamanan,
terhindar dari pungutan liar dan pajak yang berlebihan; (iii) dukungan dalam
hal pembangunan sarana pendukung, kelembagaan, permodalan, pemasaran,
persaingan usaha yang adil, promosi, dan penyediaan informasi, serta (iv)
dukungan agar usaha peternakan dapat berkembang secara integratif dari
hulu-hilir, melalui pola kemitraan, inti-plasma, dan memposisikan yang besar
maupun kecil dapat tumbuh dan berkembang secara adil. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat mendorong investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja
untuk kegiatan budidaya bagi 200.000 tenaga kerja, serta satu juta tenaga kerja
dalam kegiatan hulu dan hilir. Dengan demikian pengembangan agribisnis sapi di
Indonesia akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dalam hal
ketahanan pangan, lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, devisa, serta
perekonomian nasional.
Seleksi genetik bagi fertilitas betina
Seleksi genetik bagi fertilitas betina
Penurunan genetik pada tingkat
kebuntingan dan ukuran fertilitas induk betina yang digunakan untuk evaluasi
genetik pada indukan di US, cenderung stabil pada waktu dimana evaluasi indukan
untuk lamanya produksi telah tersedia. Walaupun seleksi secara tidak langsung
untuk meningkatkan fertilitas yang berbasis evaluasi genetik pada lamanya
produksi dapat membantu, seleksi langsung untuk meningkatkan fertilitas lebih
diperlukan. Di US, evaluasi genetik pada tingkat kebuntingan sapi diperkenalkan
pada tahun 2003. Data yang dimasukkan antara lain lamanya hari, yang dihitung
sejak tanggal dikawinkannya dan calving interval yang disesuaikan dengan 21
hari untuk tujuan evaluasi genetik. Calving interval merupakan efisiensi
reproduksi yang diukur dengan waktu pada peternakan sapi perah komersial di US
yang dihitung dengan cara jumlah sapi yang bunting pada perkawinan selama
periode 21 hari yang diberikan dibagi dengan jumlah sapi yang telah dikawinkan
pada awal periode.
Kelompok yang terpilh untuk
dikawinkan meliputi yang telah melewati periode tunggu yang sengaja dibuat,
namun belum bunting. Meskipun tingkat kebuntingan pada periode 21 hari secara
khas digunakan sebagai ‘ukuran kelompok’ dari performa reproduksi, evaluasi
indukan untuk sifat ini dapat diintrepretasikan sebagai perbedaan yang
diharapkan pada periode kebuntingan 21 hari antara kelompok-kelompok anakan
dari induk yang berbeda. (observasi tingkat kebuntingan 21 hari secara individu
dapat berupa jumlah kesempatan yang dibutuhkan untuk terjadinya kebuntingan
pada suatu kelompok). Perbedaan antar indukan sangatlah dramatis karena tingkat
kebuntingan pada induk Holstein yang tertinggi dan terendah memiliki perbedaan
sebesar 7,2%. Karena perbedaan 1% pada tingkat kebuntingan berarti kira-kira
ada selisih 4 hari, anakan yang berasal dari induk-induk yang memiliki tingkat
kebuntingan tertinggi memiliki perbedaan 29 hari dengan anakan yang berasal
induk yang memiliki tingkat kebuntingan terendah per periode laktasi. Rata-rata
tingkat kebuntingan antar jenis yang berbeda sebesar 4,9% berarti terdapat
selisih 20 hari per periode laktasi. Perbedaan antar jenis juga ada dimana
tingkat kebuntingan untuk jenis Jersey 4,6% lebih tinggi dari jenis Holstein
atau Brown Swiss.
Tingkat kebuntingan pada sapi-sapi
keturunan telah disatukan dengan seluruh index seleksi utama oleh para peternak
di US, dengan bobot sebesar 5-7% dari total nilai ekonomi hingga perbaikan
genetik pada fertilitas betina dapat diharapkan. Lebih jauh lagi, korelasi
genetik yang terestimasi, sekalipun bersifat antagonis, jumlahnya cukup sedikit
untuk menjamin tersedianya beberapa jenis keturunan yang memiliki tingkat
produksi dan fertilitas yang tinggi. Perbaikan tambahan akan dibuat dalam
evaluasi genetik untuk tingkat kebuntingan jenis keturunan dimasa depan, dimana
Laboratorium Program Perbaikan Hewan USDA (Beltsville, MD) sedang mengembangkan
database peristiwa reproduksi, meliputi pemerikasaan kebuntingan bagi dokter
hewan, data sinkronisasi hormonal, data indukan alami, dan database tanda-tanda
sapi-sapi yang tidak dapat dibiakkan dan akan diafkir pada akhir laktasi.
Seleksi genetik bagi kesuburan pejantan
Seleksi genetik bagi kesuburan pejantan
Kemunduran dalam fertilitas betina
menjadi perhatian utama dari dua bidang, baik para peneliti maupun para
peternak, sehingga program perbaikan genetik saharusnya difokuskan untuk
mengukur fertilitas betina, seperti tingkat lamanya hari dan tingkat
kebuntingan keturunan. Bagaimanapun, banyak peternak yang tertarik dengan
evaluasi fertilitas pejantan dari induk-induk yang tersedia untuk Inseminasi
Buatan. Di US, ada dua sistem regional untuk mengevaluasi fertilitas pejantan.
Yang pertama, menunjukkan tingkat konsepsi relatif yang terestimasi (Dairy
Record Management system, Raleigh, NC), meliputi data dari
peternakan-peternakan kecil hingga menengah di setengah US bagian timur dan
didasarkan pada angkat tak kembalinya estrus setelah diinseminasi pertama kali
pada hari ke-70. yang kedua, merupakan Western Bull Fertility Analysis
(Agri-Tech Analytics, Visalia, CA), meliputi data dari peternakan besar di
bagian barat US dan didasarkan pada angka konsepsi pada hari ke-75 yang ditetapkan
oleh dokter hewan (hingga 5 kali inseminasi pada tiap sapi) per laktasi.
Estimasi hasil dari fertilitas pejantan digunakan secara luas oleh para
peternak ketika membeli semen. Walaupun terdapat perbedaan sebesar 4-5% antara
pejantan tertinggi dan terendah, dimana sebagian besar variasi pada fertilitas
pejantan berasal dari pejantan yang diafkir dengan fertilitas yang kurang dan
pembuangan ejakulat yang tidak memenuhi standar laboratorium.
Seleksi Genetik untuk kesehatan hewan
Seleksi Genetik untuk kesehatan hewan
Saat ini, hanya Negara-negara
Skandinavia yang memiliki catatan data nasional dan system evaluasi genetik
untuk sifat-sifat seperti mastitis klinis dan gangguan-gangguan pada sistem
digesti, lokomotif dan reproduksi. Bagaimanapun, penelitian saat ini oleh Zwald
dkk. (2004a,b) mengindikasikan bahwa data kesehatan yang diperoleh dari
formulir yang terdapat di peternakan dan diolah menggunakan software program
manajemen ternak dapat digunakan lebih efektif untuk tujuan seleksi genetik.
Dengan mengambil data dari peternakan komersial besar yang diolah menggunakan
Software Program Manajemen Dairy Comp 305 (Valley Agriculture Software, Tulare,
CA), PCDART (Dairy Records Management Systems, Raleigh, NC), atau DHI-Plus®
(DHI-Provo, Provo, UT), Zwald dkk. (2004a,b) mengelompokkan masalah kesehatan
hewan yang tercatat oleh peternak menjadi enam kategori: displasia abomasums,
ketosis, mastitis, kepincangan, cysta ovarium dan metritis/retensi plasenta.
Tingkat insidensi saat laktasi adalah bervariasi dari 3% untuk displasia
abomasum hingga 21% untuk kasus metritis/retensi plasenta, dan mayoritas meluas
selama 60 hari postpartus.
Estimasi heritabilitas 0,14 untuk
displasia abomasum; 0,06 pada ketosis; 0,09 pada mastitis; 0,04 pada
kepincangan; 0,04 pada cysta ovaria dan 0,06 pada metritis/ retensi plasenta.
Prediksi kemungkinan terkena penyakit (per laktasi) pada sapi-sapi keturunan
bervariasi dari 1,7% hingga 6,1% pada kasus displasia abomasum; 6,3% hingga
13,2% pada kasus ketosis; 12,9% hingga 25,9% pada kasus mastitis; 7,7% hingga
13,1% pada kasus kepincangan; 5,9% hingga 9,1% pada kasus cysta ovaria dan
15,1% hingga 27,1% pada kasus metritis/retensi plasenta. Korelasi genetik antar
gangguan bervariasi dari sedang hingga positif, yaitu antara +0,10 dan +0,40,
dimana korelasi antar jenis yang diprediksikan menurunkan kemampuannya untuk
melawan gangguan kesehatan spesifik dan diprediksi menurunkan kemampuannya
terhadap tingkat kebuntingan sapi-sapi keturunan. Hal ini mengindikasikan bahwa
seleksi genetik memungkinkan untuk meningkatkan kesehatan secara menyeluruh,
sebagaimana ia dapat melawan penyakit-penyakit dan gangguan-gangguan yang
spesifik.
Sangat penting untuk dicatat bahwa
heterogenitas diagnosa, perawatan dan pencatatan terhadap penyakit-penyakit dan
gangguan-gangguan spesifik dapat timbul antar petenakan yang berbeda. Karena
evaluasi genetik pada indukan ternak didasarkan pada penyimpangan antara
performa dari keturunannya dengan performa ternak lain dalam satu kawanan pada
waktu yang sama, dan karena turunan dari keturunan induk yang diuji didistribusikan
ke dalam ratusan ternak, kesalahan kecil atau penyimpangan yang terjadi dalam
kelompok yang lebih kecil cenderung tidak mempengaruhi estimasi sifat-sifat
unggul genetik induk. Namun, validasi dari kualitas dan kelengkapan data dari
suatu peternakan sangant penting. Secara keseluruhan masa depan cerah untuk
pelaksanaan program seleksi untuk meningkatkan kesehatan hewan, dan tambahan
terhadap fertilitas dapat diharapkan.
B. MUSIM
Iklim
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap
ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor
lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain
seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya
oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus
“menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah peternakan
adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini ditandai dengan kondisi
musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan musim kering
yang panjang. Fluktuasi temperatur diavual dan musim sangat besar, lengas udara
sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas radiasi solar
yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit yang cerah. Meskipun curah
hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm, hujan dapat turun lebih
lebatt meskipun kejadian itu sangat jarang.
Iklim
yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi tergantung dari
faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan (tetap) seperti altitude (letak
daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan
latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variabel) seperti
aliran air laut, angin, curah hujan, drainase dan vegetasi. Contoh, 2 domba, A & B lahir di bulan Januari dan April
masing-masing. Waktu yang diperlukan untuk domba-domba untuk mencapai pubertas
adalah 6 bulan, domba A tidak dapat mencapai pubertas pada bulan Juni karena,
pada bulan Juni merupakan musim panas.Sedangkan B domba lahir pada bulan April
akan mencapai pubertas pada bulan September, yang merupakan musim berkembang
biak bagi domba yang diperkirakan pada bulan September tersebut kaya akan pakan
untuk anak hewan tersebut. Jadi musim berpengaruh pada reproduksi.
D.
MAKANAN
Pengaruh Energi Terhadap Performans
Reproduksi
Status gizi / nutrisi seekor ternak
dari lahir sampai dewasa dapat berpengaruh terhadap total performans
reproduksinya melalui pengaruhnya terhadap umur pada saat pubertas yang akan
berdampak terus terhadap reproduksi pada saat dewasa. Pada sapi dan domba telah
dibuktikan bahwa kekurangan nutrisi pada saat pemeliharaan dapat memperlambat
waktu pubertas dan pengaruh residunya terhadap fertilitas (kemampuan untuk
melahirkan) pada waktu dewasa.
Respon reproduksi terhadap suplai
energi dalam jangka waktu pendek, sudah banyak dilakukan pada ternak domba ,
dimana pemberian pakan tambahan sebelum dan sesudah peri¬ode kawin (metode
"flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak.
Pembatasan pakan pada periode akhir
kebuntingan menghasilkan penurunan skor kondisi tubuh ( yang merefleksikan
cadangan lemak tubuh) dan konsekuensinya berdampak terhadap munculnya lagi
berahi setelah melahirkan. Skor kondisi tubuh yang baik pada kawin setelah
melahirkan adalah diatas dari nilai 5 (skala 1 = sangat kurus sampai 9 = sangat
gemuk), yang telah dibuktikan dapat menghasilkan tingkat kebuntingan lebih dari
90 % pada sapi potong dengan sistem ranch . Skor kondisi tubuh merupakan
indicator yang sangat berguna dan praktis untuk melihat status energi dan
performans untuk kawin kembali setelah melahirkan.
Kekurangan energi sebelum melahirkan
( dibawah kebutuhan hidup pokok) sebaiknya dihindarkan karena hal ini dapat
menyebabkan cekaman metabolic dengan gejala subklinis ketosis dan gangguan hati
, yang diikuti oleh tingginya kejadian tertinggalnya plasenta, endometritis dan
rendahnya tingkat kebuntingan setelah masa laktasi. Pengaruh negatif dari
ketersedian energi yang tidak cukup akan diperbesar oleh kekurangan energi
setelah melahirkan. Namun demikian, kelebihan energi pada periode kering sapi
perah juga dapat berdampak buruk terhadap pemulihan kondisi uterus dan tingkat
kebuntingan paska melahirkan dan menimbulkan gejala subklinis ketosis dan
paresis pueperalis.
Pada dua sampai tiga minggu masa
laktasi, energi dari berbagai sumber sangat penting untuk memulai aktivitas
ovarium dan berhubungan dengan masa involusi uterus. Kekurangan energi akan
menghasilkan berahi tenang, tertundanya ovulasi dan folikel syst.
Pada ternak jantan, seperti halnya pada sapi betina, kelebihan atau kekurangan energi harus dihindari karena kedua kondisi tersebut berdampak negative terhadap kualitas semen dan proses spermatogenesis. Telah dibuktikan kekurangan energi yangekstrim akan menyebabkan terlambatnya masa pubertas pada sapi potong dan dapat menghambat produksi spermatozoa. Pejantan yang diberi ransum berenergi tinggi mempunyai kualitas semen yang lebih rendah dibanding dengan pejantan yang diberi ransum berenergi sedang. Peningkatan energi ransum dapat mempengaruhi termoregulasi testis dan skrotum melalui pengurangan sejumlah panas yang dapat diradiasikan dari leher skrotum , sehingga terjadi peningkatan suhu testis dan skrotum yang berdampak terhadap penurunan produksi sperma dan kualitas sperma.
Pengaruh Protein Terhadap Performans Reproduksi
Pada ternak jantan, seperti halnya pada sapi betina, kelebihan atau kekurangan energi harus dihindari karena kedua kondisi tersebut berdampak negative terhadap kualitas semen dan proses spermatogenesis. Telah dibuktikan kekurangan energi yangekstrim akan menyebabkan terlambatnya masa pubertas pada sapi potong dan dapat menghambat produksi spermatozoa. Pejantan yang diberi ransum berenergi tinggi mempunyai kualitas semen yang lebih rendah dibanding dengan pejantan yang diberi ransum berenergi sedang. Peningkatan energi ransum dapat mempengaruhi termoregulasi testis dan skrotum melalui pengurangan sejumlah panas yang dapat diradiasikan dari leher skrotum , sehingga terjadi peningkatan suhu testis dan skrotum yang berdampak terhadap penurunan produksi sperma dan kualitas sperma.
Pengaruh Protein Terhadap Performans Reproduksi
Pada ternak ruminansia , sebagian
besar kebutuhan proteinnya dapat disuplai oleh produksi protein sendiri ( 70% )
dalam arti protein diproduksi melalui protein mikroba . Namun demikian, data
dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan pada
sapi dewasa dan heifer dipengaruhi oleh konsumsi protein pada waktu pra - dan
paska melahirkan. Data dari sapi potong sedang laktasi dan sapi dara yang
menerima ransum protein rendah dengan berbagai level energi selama periode kebuntingan
mempunyai tingkat kebuntingan yang lebih rendah dibanding kelompok yang
mendapat ransum protein tinggi. Hal yang sama terjadi pada kelompok sapi yang
sedang menyusui, tingkat kebuntingan sangat dipengaruhi oleh kecukupan protein
dalam ransumnya. Namun demikian pengaruh kelebihan protein terhadap “services
per conception (S/C) ” dan “ days open “ pada sapi perah tidak konsisten.
Sebagian peneliti melaporkan bahwa kelebihan protein ( > 19 % dalam ransum)
cenderung meningkatkan angka service per conception sedangkan sebagian lainya
melaporkan kelebihan protein tidak berpengaruh terhadap angka S/C.
Kandungan protein dalam ransum juga
dapat meningkatkan konsumsi total ransum (dalam arti konsumsi bahan kering
ransum ) sapi perah dengan kisaran dari 0 samapai 2 kg bahan kering / hari.
Pengaruh mineral dan Vitamin terhadap Performans Reproduksi
Pengaruh mineral dan Vitamin terhadap Performans Reproduksi
Kebutuhan makromineral Kalsium dan
Phosfor untuk ternak ruminansia lebih ditentukan oleh perbandingan kedua
mineral tersebut. Telah dibuktikan bahwa frekuensi penyakit endometritis
meningkat bila ratio Ca : P menurun Kalsium berperanan setelah melahirkan untuk
proses involusi uterus. Sebaiknya rasio perbandingan Ca:P dipertahnkan dalam
perbandingan 2: 1 dengan suplai P sebaiknya lebih tinggi dalam keadaan strees.
Sedangkan untuk perbandingan Na : K dipertahankan dalam rasio 10 : 1.,
kekurangan Natrium berhubungan dengan kelebihan Kalium dapat mengurangi tingkat
kesuburan melalui siklus estrus tidak teratur, endometritis dan folikel syste.
Suplementasi Natrium melalui garam merupakan cara yang murah dan sebaiknya
diberikan secara ad libitum.
Pada ternak ruminansia umumnya
mengkonsumsi vitamin A dalam bentuk tidak aktif- ß carotene atau Provitamin A-
, kecuali jika diberikan suplemen biji-bijian berbasis konsentrat. Provitamin A
diubah menjadi bentuk aktif vitamin A dalam usus kecil dan bersama dengan
suplemen vitamin A yang telah terbentuk disimpan dalam hati, otot, telur dan
susu untuk digunakan berbagai macam fungsi, termasuk yang berhubungan dengan
fenomena reproduksi. Gangguan reproduksi yang dapat diamati dengan adanya
kekurangan vitamin A pada ternak adalah terlambatnya pubertas, rendahnya
tingkat kebuntingan, tingginya kematian embrio, tingginya kematian anak baru
lahir karena lemah, kebutaan dan berkurangnya libido pada jantan serta pada
ternak babi memperbaiki jumlah kelahiran per induk
E. MANAJEMEN
Manajemen adalah pengaturan atau pengelolaan
terhadap ternak agar ternak dapat berproduksi dengan baik.
Penyiapan Sarana dan Peralatan
Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya
berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit.
Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran
kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi
yang lebih banyak.
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya
berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah
dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering
sebagai alas kandang yang hangat. Seluruh
bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih
dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahanbahan lainnya.
Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah
1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan
untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari
tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C)
dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah
(100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).
Pembibitan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa
adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah
beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai eturunan produksi
susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung
lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar
serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik,
apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelokkelok,
puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan
tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit
menular, dan (h) tiap tahun beranak.
Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk
yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak
tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul
lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar,
(d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4
dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat.
Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur
sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat
produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan
yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai
sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar,
punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h)
paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya
cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut
besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat
pada keturunannya.
Pemeliharaan
- Sanitasi dan Tindakan Preventif
Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas. Sapi perah yang dipelihara dalam naungan (ruangan) memiliki konsepsi produksi yang lebih tinggi (19%) dan produksi susunya 11% lebih banyak daripada tanpa naungan. Bibit yang sakit segera diobati karena dan bibit yang menjelang beranak dikering kandangkan selama 1-2 bulan. - Perawatan Ternak
Ternak dimandikan 2 hari sekali. Seluruh sapi induk dimandikan setiap hari setelah kandang dibersihkan dan sebelum pemerahan susu. Kandang harus dibersihkan setiap hari, kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Setelah kandang dibersihkan, sebaiknya lantainya diberi tilam sebagai alas lantai yang umumnya terbuat dari jerami atau sisa-sisa pakan hijauan (seminggu sekali tilam tersebut harus dibongkar).
Penimbangan dilakukan sejak sapi pedet hingga usia dewasa. Sapi pedet ditimbang seminggu sekali sementara sapi dewasa ditimbang setiap bulan atau 3 bulan sekali. Sapi yang baru disapih ditimbang sebulan sekali. Sapi dewasa dapat ditimbang dengan melakukan taksiran pengukuran berdasarkan lingkar dan lebar dada, panjang badan dan tinggi pundak. - Pemberian Pakan
Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a) sistem penggembalaan (pasture fattening)
b) kereman (dry lot fattening)
c0 kombinasi cara pertama dan kedua.
- Pakan yang diberikan berupa hijauan dan
konsentrat. Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro,
alfalfa, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan
siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa
rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan
(BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.
Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
Selain makanan, sapi harus diberi air minum
sebanyak 10% dari berat badan per hari.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
5.
Pemeliharaan Kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.
F.
TEKNOLOGI
Dalam upaya
memperoleh bibit yang berkualitas pola dan teknik pengembangbiakan yang
terprogram memegang peranan yang sangat menentukan. Teknologi dalam bidang
reproduksi saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan dengan
mempertimbangkan berbagai segi teknik pengembangbiakan yang dilaksnakan di
Baturraden saat ini adalah :
a). Inseminasi Buatan ( IB ).
a). Inseminasi Buatan ( IB ).
Pelaksanaan
IB di Baturraden dilakukan dengan mempergunakan FS elite bull. Pengaturan
penggunaan pejantan/FS dilakukan untuk meningkatkan kualitas keturunan dan
menghindarkan terjadinya perkawinan sedarah ( In breeding ).
b). Transfer
Embryo ( TE )
Merupakan
teknik paling cepat dalam upaya peningkatan mutu genetik kelompok ternak
tertentu. Keterbatasan berupa mahalnya biaya pelaksanaan TE dan angka
keberhasilan yang masih rendah sekaligus resiko ikutan berupa penurunan
kesuburan reproduksi ternak pasca flushing menjadi tantangan bagi BBPTU
Baturraden dan BET Cipelang selaku institusi teknis yang bertanggungjawab dalam
aplikasi TE di Indonesia.
Dalam
rangka mendukung pengembangan TE di Indonesia BBPTU Baturraden mengalokasikan
20% dari populasi induk dan dara yang akan di pergunakan sebagai donor dan
resipien. Ternak Pengganti ( Replacement Stock ) diprogram secara teratur
setiap tahun
Replacement ternak diperuntukkan agar porposi populasi ternak produktif dapat terjaga, hal ini sangat penting untuk memenuhi target produksi bibit yang telah diterapkan.
Replacement ternak diperuntukkan agar porposi populasi ternak produktif dapat terjaga, hal ini sangat penting untuk memenuhi target produksi bibit yang telah diterapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2010b. Pengaruh Nutrisi
Terhadap Performans. http://ternak-ruminansia.blogspot.com (Diakses 30
April 2012).
Anonim.
2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap
Pisiologis. http://be-ef.blogspot.com (Diakses 30 April 2012).
Anonim.
2012a. Usaha Dalam
Meningkatkan Performa Reproduksi melalui Seleksi Genetik. http://www.koas.vetklinik.com
(Diakses 30 April 2012).
Anonim.
2012b. Peternakan Petunjuk
Teknis. http://www.deptan.go.id (Diakses 25 April 2012).
Arsyad
dan Yudistira, BS. 2012. Penanganan
Kesehatan Hewan (Kasus Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi). Dinas
Peternakan dan Kesehatan Ternak. Lampung.
Junaedi.
2011. Manajemen Pembibitan Ternak Ruminansia http://peternakanjunaedi.blogspot. com (Diakses 30
April 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar