Pekerjaan bercocok tanam atau memelihara ternak
adalah masalah fisik, masalah penerapan dari ilmu-ilmu biologi, fisika, kimia,
agronomi, dan sebagainya ke dalam usaha memproduksi berbagai jenis hasil dari
usahatani. Akan tetapi, masalah bagaimana petani dalam melaksanakan tujuannya
agar dapat selalu memperoleh kemampuan untuk menyelenggarakan hidupnya secara
baik merupakan masalah ekonomi. Pada kenyataannya, saat ini usahatani yang ada
di Indonesia
adalah bentuk usahatani peralihan dari usahatani subsisten ke usahatani yang
komersial. Makin komersial usahatani, maka perlu untuk memperhatikan berapa
prinsip atau hukum yang penting.
Prinsip-prinsip ekonomi dalam usahatani,
meliputi :
1.Prinsip
Perbandingan Keuntungan Terbesar (The Principle of Comparative Advantage)
Adanya
perbedaan fisik terutama kesuburan tanah dan iklim menyebabkan jenis tanaman
yang cocok diusahakan di suatu daerah tidak sama. Dengan demikian, suatu jenis
tanaman yang sesuai untuk diusahakan di suatu daerah belum tentu cocok untuk
diusahakan di daerah lain. Akan tetapi, terdapat pula kemungkinan bahwa
berbagai macam tanaman dapat tumbuh baik di suatu daerah. Oleh karena itu,
petani dapat memilih jenis tanaman apa yang diusahakan yang dianggap akan dapat
memberikan keuntungan.
The
Principle of Comparative Advantage mengemukakan bahwa
orang akan mengusahakan jenis tanaman tertentu, dari tanaman mana modal dan
tenaga kerja yang dimasukkannya akan memperoleh keuntungan komparatif terbesar
(keuntungan yang di dalam perbandingannya merupakan keuntungan terbesar)
Tabel perhitungan pendapatan petani dari tanaman :
No
Macam
Hasil Fisik
Pendapatan
Biaya yang
Pendapatan
Tanaman
(kw/Ha)
(Rp/Ha )
dikeluarkan
petani
(Rp)
(Rp/Ha)
1
Padi
40
200.000
50.000
150.000
2
Tebu
54
855.000
555.000
300.000
3
Tembakau
50
750.000
450.000
300.000
(daun basah)
Keterangan : angka-angka hipotesis
Dalam waktu yang sama tanaman
tembakau paling menguntungkan.
2.Prinsip
Biaya Oportunitas atau berimbang (The Principle of Opportunity Cost)
Prinsip ini mengatakan bahwa
orang harus dapat memilih dari jenis komoditi mana dapat diperoleh pendapatan
tertinggi dengan penggunaan sumber produksi sebaik-baiknya. Opportunity
Cost adalah pendapatan potensial yang hilang yang dapat diperoleh dari
penggunaan sumber, karena sumber tersebut digunakan untuk usaha produksi yang
lain. Misalnya apabila tanah dan modal terbatas, maka sebaiknya dipergunakan
untuk memelihara ternak (babi, ayam, atau sapi perah) yang dapat memberikan
pendapatan bersih terbesar. Dengan menghitung pendapatan bersih dengan modal
sama untuk berbagai cabang usahatani, dapat diperoleh fakta :
No.
Modal
Cabang Usahatani
Cabang Usahatani
Cabang Usahatani
(Rp)
Babi
Ayam
Sapi Perah
(Rp)
(Rp)
(Rp)
1
100.000
130.000
150.000
140.000
2
200.000
260.000
275.000
250.000
3
300.000
380.000
384.000
355.000
4
500.000
493.000
500.000
465.000
Keterangan : angka-angka hipotesis
Apabila petani mempunyai
modal Rp 100.000,00 maka lebih menguntungkan mengusahakan ayam, tetapi apabila
petani mempunyai modal Rp 200.000,00 maka lebih menguntungkan mengusahakan Rp
100.000,00 untuk usaha ayam dan Rp 100.000,00 lagi untuk mengusahakan sapi
perah.
3.Prinsip
Substitusi (Principle of Substitution)
Prinsip ini mengatakan bahwa
batas dimana substitusi dihentikan terletak pada suatu titik dimana kerugisn
teknik yang ditimbulkan oleh pemakaian benda substitusi menghilangkan
keuntungan yang diperoleh karena nilainya rendah.
Penggantian faktor satu
dengan yang lain selalu menimbulkan keuntungan teknik maka harga akan lebih
tinggi atau kerugian teknik karena harganya rendah dan keuntungan ekonomik.
Misalnya pada makanan ternak susunan makanan tidak dapat berubah-ubah karena
akan mempengaruhi pertumbuhan lebih baik dan telur yang dihasilkan akan lebih
banyak.
Makanan ternak ayam jenis A, biaya makanan tiap bulan Rp 300, rata-rata
menghasilkan 25 telur. Pada suatu saat harga makanan naik dari 300 menjadi 400.
Makanan ayam jenis B lebih murah yaitu Rp 200
Makanan
Biaya (Rp)
Telur (Butir)
Pendapatan (Rp)
Keuntungan (Rp)
A
3/4A+1/4B
1/2A+1/2B
1/4A+3/4B
B
400
300+50
200+100
100+150
200
25
23
21
17
12
500
460
420
340
240
100
110
120
90
40
Keterangan : Angka-angka
Hipotesis
Kombinasi yang memberikan
keuntungan paling besar adalah 1/2A+1/2B memberikan keuntungan ekonomik
terbesar.
4.Hukum kenaikan hasil yang makin
berkurang (Law of Deminishing Return)
Penambahan suatu input
tertentu akan menambah hasil, misalnya penambahan pupuk untuk meningkatkan
hasil padi. Penambahan pupuk selanjutnya akan menaikkan hasil lebih lanjut,
akan tetapi penambahan hasil pada penambahan pupuk yang kedua tidak sebesar
penambahan hasil pada pemupukan yang pertama. Demikian apabila penambahan pupuk
dilakukan terus menerus, maka penambahan hasilnya akan semakin berkurang dan
pada sampai suatu titik tertentu hasilnya tidak naik lagi melainkan menurun.
Gejala ini dinyatakan dalam “low of diminishing return” atau hukum kenaikan
atau pertambahan hasil yang semakin berkurang.
Kulit dalam bidang peternakan merupakan hasil samping dari
suatu ternak, tetapi masih mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kulit dapat
diawetkan lalu disamak dan kemudian menjadi bahan dasar untuk membuat berbagai
keperluan sehari-hari. Kulit telah digunakan sebagai bahan dasar pembuat
sandang sudah sejak dari 7000 tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Zaman
dahulu, kulit digunakan sebagai selimut yang dapat melindungi tubuh manusia
dari hawa dingin. Selain sandang dan selimut, kulit juga digunakan sebagai
bahan pembuat pelana, perisai, karpet, layer pada kapal, alas kaki, alat tulis
sampai dengan kerajinan tangan lainnya, bahkan juga digunakan sebagai bahan
makanan.
Kulit yang beraneka ragam dan bersifat tahan lama bisa
didapatkan dengan ketrampilan pada saat proses pengawetan sampai penyamakan.
Proses-proses ini sudah lebih dulu dipelajari dan diterapkan oleh manusia
purbakala pada zaman dulu dengan metode yang primitif dimana mereka memerlukan
bahan-bahan dari alam. Garam misalnya, mineral ini digunakan manusia purba
dalam pengawetan kulit. Ilmu-ilmu tersebut secara turun-temurun sampai pada
manusia modern sekarang ini. Zaman sekarang manusia dapat mengolah kulit baik
proses pengawetan maupun proses penyamakan dengan metode yang modern. Proses
pengolahan kulit ini membutuhkan waktu yang lama dengan dibutuhkan ketelatenan
yang tinggi, sehingga harga kulit olahan mahal.
Pengawetan
kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah
terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit.
Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal
tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin
dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (±
5-10%).
PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kulit
HARI
TANPA
MATAHARI, TANPA GARAM
TANPA
MATAHARI, GARAM
MATAHARI,
TANPA GARAM
MATAHARI,
GARAM
P0
P1
P2
P3
KAMIS
a.
Tekstur
Agak kasar
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Agak kaku
d.
Warna
Agak Kuning
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Elastis
d.
Warna
Putih
a.
Tekstur
Kasar
b.
Bau
Sedikit bau tengik
c.
Konsistensi
Sedikit kaku
d.
Warna
Kuning
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Elastis
d.
Warna
Putih
JUM’AT
a.
Tekstur
Kasar
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Kaku
d.
Warna
Kuning Kecoklatan
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Elastis
d.
Warna
Putih
a.
Tekstur
Kasar
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Kaku
d.
Warna
Kuning
kecoklatan
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Tengik
c.
Konsistensi
Elastis
d.
Warna
Putih
SABTU
a.
Tekstur
Kasar
b.
Bau
Agak tengik
c.
Konsistensi
Kaku
d.
Warna
Coklat
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Agak tengik
c.
Konsistensi
Kaku
d.
Warna
Coklat
a.
Tekstur
Kasar
b.
Bau
Agak tengik
c.
Konsistensi
Kaku
d.
Warna
Coklat
a.
Tekstur
Halus
b.
Bau
Agak tengik
c.
Konsistensi
Elastis
d.
Warna
Putih
A. Teknologi Pengawetan pada Kulit
Mentah
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk
mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan
kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak
cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit.
Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah
mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh
(± 5-10%).
Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :
1.Mempertahankan struktur dan keadaan
kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara waktu sebelum dilakukan
proses pengolahan/penyelesaian
2.Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu
yang relatif lebih lama
3.Agar kulit dapat terkumpul sehingga
dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya serta mengantisipasi
terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak
Secara umum proses pengawetan kulit
mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni :
1.Pengawetan dengan cara pengeringan +
zat kimia
2.Pengawetan dengan cara kombinasi
penggaraman dan pengeringan
3.Pengawetan dengan cara garam basah
4.Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)
1. Pengawetan dengan cara
pengeringan + zat kimia
Kulit segar yang baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan
dengan maksud untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit hingga
mencapai batas minimum kadar air yang diperlukan untuk persyaratan hidup
bakteri perusak. Adapun urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
a.Pencucian dan pembuangan daging
Kulit yang baru dilepas dicuci dengan air mengalir dan
kelebihan daging maupun lemak yang masih melekat dibuang. Pisau yang
digunakan harus tajam dan bentuknya melengkung untuk mencegah robeknya
kulit. Setelah semua lemak dan daging telah bersih selanjutnya
dicuci kembali dengan air mengalir
b. Pengetusan (Pentirisan)
Kulit yang telah dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan
diatas kuda-kuda kayu dan dibiarkan menetes selama 30 menit.
c.Pemberian zat kimia
Kulit direndam dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium
Arsenat 0,5% selama 5-10 menit. Setelah proses tersebut selesai,
kulit masih disampirkan diatas bak agar sisa-sisa zat kimia masih tetap
menetes kembali ke dalam bak
d. Pementangan
Setelah zat kimia menetes dengan baik, kulit dipentang dan
ditarik dengan tali pada kerangka kayu (pentangan kulit). Pentangan untuk
kulit sapi, kerbau maupun kuda menggunakan kayu bulat dengan diameter kira-kira
5-10 cm yang menyerupai model bingkai gambar. Ukuran panjang maupun
lebarnya disesuaikan dengan kondisi kulit dengan acuan bahwa pentangan tersebut
dapat menampung luas maksimal dari kulit. Kulit yang akan dipentang
dilubangi pada bagian pinggirnya dengan jarak kira-kira 2-3 cm dari batas pinggir
kulit dan ditarik hingga posisi kulit terpentang dengan sempurna tanpa adanya
pengkerutan dan pelipatan pada bagian pinggir maupun tengah. Proses
pementangan untuk kulit kecil seperti domba, kambing maupun reptil dapat
dilakukan diatas papan dan teknik pementangannya tidak perlu menggunakan tali
tapi cukup dilakukan dengan menggunakan paku
e.Pengeringan
Kulit yang telah dipentang selanjutnya siap untuk
dijemur. Proses pengeringan tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sebab
zat-zat kulit pada lapisan luar akan mengering lebih cepat dibanding pada
bagian dalam dari kulit.
Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen)
mengalami proses gelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan
tentunya dapat menghalangi proses penguapan air pada bagian dalam. Bila
hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk pada saat disimpan dalam
jangka waktu yang lama. Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa
petunjuk teknis sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses penjemuran
kulit dibawah sinar matahari.
Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh).
Pukul 09.00-11.00 dan pukul 15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar
matahari tegak lurus dengan permukaan kulit. Pada waktu siang hari yaitu
pukul 11.00-15.00 penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah
datangnya sinar matahari. Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering,
maka posisi kulit dapat dibolak balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan
dapat merata disemua permukaan kulit. Proses pengeringan kulit dapat
selesai dalam waktu kurang lebih 2-3 hari dengan kondisi panas matahari yang
cukup dan penguapan yang teratur.
Beberapa petunjuk sederhana untuk mengetahui apakah proses
pengeringan telah cukup, yakni apabila :
-Keadaan kulit terlihat tembus cahaya
(transparan)
-Keadaan kulit tegang (kaku)
-Bagian daging dan bulu telah
mengering
-Penampang kulit bila diketuk akan
berbunyi nyaring
f.Pelipatan
Setelah kulit menjadi kering selanjutnya dilepas dari
pentangannya dan dilipat dua dengan arah lipatan membujur dari pangkal ekor
menuju ke kepala sejajar dengan garis punggung dan membagi dua bagian
tubuh yaitu kiri dan kanan. Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan pada
bagian dalam maupun luar. Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit
dapat disimpan sebagai kulit awetan.
2. Pengawetan dengan cara
kombinasi penggaraman dan pengeringan
Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang
melekat (seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl)
jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe
selama 1-2 hari. Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.
Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.
Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan
garam. Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat
diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka
dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut,
sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air
pelarut. Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara
ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang
banyak dijual di pasaran.
Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1
kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis.
Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat
kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20
kg (20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 =
30).
Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan
melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut
lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang
telah direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman. Bagian daging
dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari
berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi
peresapan. Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu (seperti cara-1)
dengan waktu pengeringan 3-5 hari. Kulit yang telah kering
selanjutnya dilipat (seperti cara-1).
Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun
kerugian antara lain :
a.Keuntungan
-Selama waktu pengeringan kulit tidak
lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama
misalnya pada saat musim penghujan.
-Kualitas kulit menjadi lebih baik
dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena serat-serat
kulit tidak melekat satu sama lain
-Kulit sangat baik untuk disamak
terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu
yang terlalu lama lagi
b.Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding
cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula
3. Pengawetan dengan cara
garam basah
Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam (seperti
pada cara-2). Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan seperti
(cara-2), tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya telah
ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi paling bawah
diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging
menghadap keatas.
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah
perendaman). Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi
pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau
dan kuda. Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian
bulu posisi kedua. Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1
meter. Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai
penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu
bagian bulu menghadap ke atas. Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam
hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit. Kulit yang telah
digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya
keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau
disimpan sebagai kulit garaman.
Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih
dari 1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan
dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim
dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini
digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari
seperti kulit ikan dan kulit reptil. Seperti halnya cara-2 jenis
pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :
a.Keuntungan :
-Pengawetan tidak tergantung dengan
sinar matahari
-Sedikit sekali terjadi kerusakan
kulit
-Proses perendaman (soaking)
dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang singkat
-Pelaksanaan cepat dan tidak
membutuhkan ruangan yang luas
b.Kerugian :
-Untuk daerah tropik seperti di
Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah masih disangsikan
keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan
bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis
bakteri halapofilik yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
-Biaya pengawetan sedikit lebih mahal
karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan
dengan temperatur yang rendah.
4. Pengawetan
dengan cara pengasaman (pickling)
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba (terutama
di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang berskala besar
lainnya). Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan atau
lebih. Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit
yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran (liming), buang
kapur (deliming) dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang
disebut bating (beitzing) (Prosesnya sama dengan tahap pendahuluan dalam
proses penyamak kulit). Proses bating tersebut dilakukan dengan
mereaksikan enzim dengan kulit.
Setelah proses bating selesai, kulit diputar dalam cairan asam (pickle)
yang terdiri dari garam dapur (NaCl), asam dan air. Komposisi yang
digunakan adalah 15% NaCl + 1,2% H2SO4 atau asam lain +
100% air pada pH ± 2,5. Persentase bahan-bahan yang dipakai
diperhitungkan dari berat kulit. Kepekatan cairan pickle antara 10-12 oBe.
Kulit dimasukkan ke dalam cairan pickle secara bersama-bersama diputar dalam
drum berputar (paddle) selama 2 jam dan selanjutnya dilakukan proses
pemerasan (sammying). Kulit yang telah diperas dilipat seperti
cara terdahulu yaitu membujur dari pangkal ekor menuju ke bagian kepala membagi
bagian tubuh menjadi dua yakni kiri dan kanan. Kulit dimasukkan ke dalam
tong kayu dengan bagian dasarnya diberi dengan garam begitu pula di antara
lapisan-lapisan lembar kulit. Bagian kulit paling atas ditaburi garam dan
ditutup rapat. Kandungan air diusahakan tidak lebih dari 40% dengan pH
2-2,5.
Dari
keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis
pengawetan memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses
pengawetan yang dilakukan tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana kulit
mentah tersebut memiliki umur simpan yang maksimal hingga memasuki tahap
pengolahan. Selama proses penyimpanan tersebut struktur penyusun kulit
sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme. Selain itu tentunya
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur penyusun diupayakan dapat
diminimalisir.
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan
bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak
yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh ternak
Selain
zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula
beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu
sendiri yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa
oxidase. Enzim collagenase disintesis oleh sel
fibroblast. Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase
yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase tersebut
akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut
kolagen. Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum
mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai, enzim
cathepsin bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam
kulit. Kejadian tersebut lazim disebut autolisis. Enzim dopa
oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan warna pada kulit
ternak/hewan pada saat masih hidup. Akibat pengaruh sinar ultraviolet, tirosin
berubah menjadi dopa yang selanjutnya dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin
yakni butir zat warna pada kulit (Sarkar, 1995). Warna kulit yang
gelap (pada saat masih hidup) kemungkinan disebabkan oleh terekspose dibawah
terik matahari dalam jangka waktu lama. Warna kulit berpengaruh terhadap
cara pengawetan, dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara
pengeringan, akan cepat mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo,
1999).
Selain enzim-enzim yang terdapat dalam kulit itu sendiri juga terdapat pula
enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyerang kulit seperti halnya
bakteri, jamur maupun mikroorganisme lain. Gabungan enzim-enzim dari
kulit itu sendiri dengan enzim dari mikroorganisme tersebut akan mempercepat
proses degradasi terhadap komponen kulit dan hasil digestinya
disebut lisis.
Komponen kulit yang paling penting untuk dipertahankan adalah protein kolagen,
karena kolagen merupakan struktur utama yang dibutuhkan dalam proses penyamakan
kulit dan sangat menentukan kualitas akhir dari kulit tersamak (leather).
Dalam upaya mempertahankan struktur kulit sangat perlu dilakukan proses
pengawetan sebelum dilakukan proses penyimpanan.
Gelatin
Tabel 2. Kandungan Asam
Amino
pada Gelatin Jenis Asam Amino
Jumlah (persen)
Glisin
Prolin
Hidroksiprolin
Asam glutamat
Alanin
26,4 – 30,5
14,0 – 18,0
13,3 – 14,5
11,1 – 11,7
8,6 – 11,3
Ditinjau dari struktur
kimianya yang merupakan polipeptida asam amino, gelatin merupakan suatu
senyawa ampoter. Muatan asam amino dapat berubah positif atau negatif
tergantung dari media sekitarnya (pelarut).
Kegunaan gelatin
terutama adalah untuk mengubah cairan menjadi padatan yang elastis atau
mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi pembentukan gel oleh gelatin
bersifat reversible karena bila gel dipanaskan akan terbentuk sol
dan sewaktu didinginkan akan kembali terbentuk gel lagi. Keadaan tersebut
membedakan dengan gel dari pektin, alginat, pati, albumin telur dan protein
susu yang bentuk gelnya irreversible.
Sifat sisik secara umum
dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu dalam gelatin dapat digunakan
untuk menilai mutu gelatin. Standar mutu gelatin dapat dilihat pada Tabel
3.
Gelatin
adalah salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelling,
bahan pengental (thickner) atau penstabil. Gelatin berbeda dengan
hidrokoloid lain, karena kebanyakan hidrokoloid adalah polisakarida seperti
karagenan dan pektin, sedangkan gelatin merupakan protein mudah dicerna,
mengandung semua asam- asam amino essensial kecuali triptofan. Komposisi asam
amino dari gelatin dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 3. Standar Mutu Gelatin
Karakteristik
Syarat
Warna
Bau, rasa
Kadar air
Kadar abu
Logam berat
Arsen
Tembaga
Seng
Sulfit
Tidak berwarna
Normal (dapat diterima konsumen)
Maksimum 16%
Maksimum 3,25%
Maksimum 50 mg/kg
Maksimum 2 mg/kg
Maksimum 30 mg/kg
Maksimum 100 mg/kg
Maksimum 1000 mg/kg
Kolagen
Kolagen merupakan sejenis protein yang nilai gizinya rendah
karena usunan asam amino esensialnya kurang lengkap dan seimbang, contohnya
tidak mengandung asam amino triptopan. Di dalam protein, kolagen mengandung
asam amino prolein dan hidroksiprolein sekitar 10% serta arginin dan
sepertiganya berupa glycin. Pada manusia dan hewan, kolagen merupakan protein
pembentuk struktur tulang, tendon, otot dan kulit. Dengan tingginya kadar asam
amino protein dan hidroksiprolein pada cakar ayam, sangat penting artinya bagi
pertumbuhan makhluk muda (individu baru) yang sedang tumbuh. Demikian pula pada
orang dewasa dan lanjut usia yang mengalami retak pinggul dan patah tulang akan
cepat sembuh kembali jika mengkonsumsi dosis tertentu asam amino prolein dan
hidroksiprolein.
Kulit kaki ayam memiliki komposisi kimia sebagai berikut :
kadar air 65,90%, protein 22,98%, lemak 5,60%, kadar abu 3,49% dan lain-lain
2,03%.
B.
Teknologi Penyamakan Kulit
Penyamakan kulit merupakan suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin)
yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis)
menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit
tersamak (leather).
Jenis penyamakan yang kita kenal ada 4, yakni :
1.Penyamakan mineral
Jenis bahan penyamak yang sering digunakan dalam penyamakan
ini antara lain yang berasal dari golongan aluminium seperti tawas putih (K2SO4
Al2(SO4)3 24 H2O), golongan chrome
seperti Cr2O3 (produk komersial dengan merek Chromosal-B)
dan Zirkonium. Produk kulit jadi (leather) yang biasa
dihasilkan melalui penyamakan ini antara lain : kulit untuk bahan jaket,
tas kantor, sepatu dan lap (chamois)
2.Penyamakan nabati
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah bahan-bahan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti akar, batang dan daun.
Prinsipnya bahwa semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung tannin dapat
digunakan. Contoh tumbuhan yang sering digunakan antara lain : mahoni,
pisang, teh, akasia, bakau. Tumbuhan yang mengandung tannin dicirikan
oleh rasa yang sepat dan reaksi dengan besi seperti pisau menghasilkan warna
ungu kehitaman. Produk kulit jadi yang dihasilkan adalah sepatu sol
(sepatu kerja/sepatu militer/polisi)
3.Penyamakan sintetis
Penyamakan sintetis menggunakan bahan-bahan dari golongan
fenol yang telah dibesarkan molekulnya melalui proses sulfonasi dan kondensasi.
Produk komersial dijual dengan merek Basyntan, Irgantan dan Tanigan.
Tujuan yang diharapkan dari penyamakan ini adalah memperoleh kulit jadi dengan
menampilkan kesan aslinya. Seperti kulit reptil (ular, buaya biawak)
maupun pada kulit kaki ayam. Melalui teknik penyamakan ini relief (rajah)
khas yang dimiliki masing-masing kulit tetap dipertahankan dan akan tetap
tampak sebagai suatu seni (art) tersendiri.
4.Penyamakan minyak
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah berasal dari
minyak ikan salah satu contohnya adalah minyak ikan hiu. Dalam
perdagangan biasa dikenal dengan nama minyak ikan kasar. Minyak ikan yang
digunakan memiliki ikatan C rangkap atau bilangan yodium berkisar 80-120.
Produk kulit jadi yang dihasilkan misalnya kulit bulu (zemleer).
C. Hasil-hasil Olahan Kulit
untuk Pangan dan Non Pangan
a
.Hasil olahan kulit untuk pangan
Hasil olahan yang berasal dari kulit yang dapat dikonsumsi manusia dapat berupa
kerupuk kulit dan gelatin. Jenis olahan ini telah dikembangkan oleh
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas (Abustam dkk.,
2003). Sampai saat ini produk kerupuk kulit sudah banyak dikonsumsi oleh
masyarakat baik yang berasal dari ternak besar maupun yang berasal dari unggas
(ayam). Misalnya saja kerupuk kulit cakar ayam maupun kerupuk kulit tubuh
ayam. Di pulau Jawa sendiri, Jenis kerupuk ini telah lama
berkembang, begitu pula di Sulawesi Selatan jenis kerupuk ini sedikit demi sedikit
telah mulai dikenal oleh masyarakat. Di Sumatra Barat sendiri telah diproduksi
secara massal dengan nama “kerupuk jangat” yang sebagian besar diproduksi
dengan bahan dasar kulit kerbau begitu pula di daerah Mataram kegiatan produksi
kerupuk dari kulit telah berkembang dengan pesat.
Pemanfaatan lain dari kulit dalam
dunia pangan adalah dalam bentuk gelatin. Gelatin adalah produk hasil
denaturasi dari kolagen. Kulit yang secara kimiawi komposisi proteinnya terdiri
atas 80-90% merupakan protein kolagen. Protein kolagen
ini secara ilmiah dapat “ditangkap” untuk dikonversi menjadi gelatin. Gelatin secara kimiawi diperoleh
melalui rangkaian proses hidrolisis kolagen yang terkandung dalam
kulit. Reaksi yang terjadi adalah :
C102H149N31O38 + H2O
C102H151N31O39
KolagenGelatin
Beberapa negara maju maupun negara
berkembang menggunakan banyak produk gelatin dalam kehidupan sehari-hari.
Gelatin banyak digunakan sebagai bahan kosmetik (salep, cream rambut), makanan
(pembuatan es krim, permen karet, pengental, mayonnaise, maupun penjernih
anggur buah), bidang teknik (rol cetak, sablon dalam screen printing,
perekat pentil korek api dan alas hektograf), bidang fotografi (medium pengulas
bahan film serta kertas potret), bidang farmasi dalam bentuk kapsul dan
alas makanan dalam bidang mikrobiologi.
Saat ini gelatin sudah dapat
diproduksi dari kulit kaki ayam melalui proses ekstraksi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kulit kaki ayam ras pedaging (broiler) yang
dicuring dengan asam cuka 1% selama 3 hari telah menghasilkan gelatin dengan
kuantitas dan kualitas yang baik (Abustam dkk., 2002). Berdasarkan data
yang ada bahwa Indonesia selama ini masih mengimpor gelatin dari Eropa dan
Amerika yang bahan bakunya kebanyakan berasal dari kulit babi, meskipun
diantaranya berasal dari tulang sapi maupun kulit sapi. Berita terakhir
menyebutkan bahwa bagi warga Eropa dan Amerika sendiri sudah banyak meragukan
kualitas gelatin yang mereka hasilkan dengan merebaknya kasus penyakit sapi
gila (madcow) dan zoonosis yang menyerang ternak ruminansia
khususnya sapi di daerah tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut diketahui pula
bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga produk gelatin
impor yang kemungkinannya berasal dari kulit babi tersebut merupakan suatu
masalah yang cukup serius (LP.POM-MUI,1997). Berdasarkan kasus-kasus
tersebut berkembanglah suatu pemikiran untuk memproduksi gelatin
yang relatif lebih aman untuk dikonsumsi dalam hal ini akan terbebas dari
kontaminasi penyakit yang membahayakan tersebut serta halal bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
b.
Hasil Olahan Kulit untuk Non Pangan
Hasil olahan kulit dalam bentuk non pangan lebih banyak dalam bentuk kulit
tersamak (leather) melalui proses penyamakan. Beberapa jenis
produk leather yang kita kenal adalah sebagai berikut :
ØKulit
sol
Kulit sol biasanya berasal dari kulit tebal yang mempunyai
struktur serat yang kuat dan padat misalnya kulit sapi dan kerbau. Jenis
kulit ini kaku dan sulit dibengkokkan. Penggunaannya sebagai bahan sol
sepatu untuk militer/polisi serta pekerja pabrik. Kulit sol diolah dengan
melalui penyamakan nabati.
ØKulit
vache
Kata vache berasal dari bahasa Perancis “la vache” yang
berarti sapi. Kulit ini lebih lemas dibanding sol dan banyak digunakan
untuk sol dalam dan kap pembuatan sepatu cara modern. Kulitnya berasal
dari sapi .
ØKulit
raam
Kulit raam adalah jenis kulit vache digunakan untuk
menyambung kulit atasan dengan kulit bawahan dan diperdagangkan sebagai lajuran
dengan lebar 12-18 mm dan tebal 1,8-2,2 mm. Warna biasanya disesuaikan
dengan warna kulit sapi.
ØKulit
box
Kata box merupakan contoh dari kulit atasan yang berasal
dari kulit sapi melalui penyamakan chrome. Sifat kulit ini lemas,
struktur kuat serta nerf tidak mudah pecah dan lepas. Banyak digunakan
sebagai bahan sepatu kantor atau kerja.
ØKulit
fahl
Kulit fahl merupakan bahan untuk kulit atasan berasal dari
kulit sapi yang disamak nabati dan diberi gemuk tidak berwarna atau berwarna
kehitaman. Sifatnya tahan air, lemas dan kekuatan tariknya tinggi.
Banyak digunakan sebagai bahan sepatu gunung, militer maupun sepatu lapangan
ØKulit
tahan air
Kulit ini merupakan kulit atasan melalui proses penyamakan
chrome, kombinasi dan nabati. Kulit diberi gemuk agar tahan terhadap air
dan banyak digunakan sebagai bahan pembuatan sepatu berat, laras, sport dan
ski. Kadar gemuknya mencapai 15-21%. Jenis kulit ini berasal dari
kulit sapi
ØKulit
nubuk dan velour
Kulit ini berasal dari kulit sapi yang disamak chrome dan
pada bagian atas (nerf) digosok sedikit sehingga bila diraba akan terasa
seperti beludru.
ØKulit
chevrau
Kulit ini dibuat dari kulit kambing yang disamak chrome yang
digunakan sebagai bahan kulit atasan. Kulit ini biasa juga disebut kulit glase.
ØKulit
chevrette
Kulit ini berasal dari domba yang disamak
chrome. Kekuatannya sedikit berada dibawah kulit chevrau sehingga
kebanyakan dibuat untuk jenis sepatu rumah.
ØKulit
blank
Kulit ini kebanyakan diolah dengan samak nabati sifatnya
elastis tidak mudah dibengkokkan dan kuat. Digunakan sebagai bahan
untuk sadel, tas, ransel. Bahannya berasal dari kulit sapi.
ØKulit
vachet
Kulit ini berbahan mentah kulit sapi dan digunakan sebagai
bantal pada kursi dan peralatan-peralatan rumah tangga lainnya.
ØKulit
mebel
Kulit ini mirip dengan kulit blank namun jumlah gemuk yang
diberikan lebih banyak, elastis dan kuat.
ØKulit
halus
Yang tergolong kulit ini adalah kulit sampul buku dan kulit
tas. Bahan mentahnya berasal dari kulit sapi, kambing dan domba yang
disamak nabati
ØKulit
reptil dan kulit ikan
Kulit reptil antara lain kulit ular, biawak dan buaya.
Produk ini dipergunakan untuk produksi sepatu, tas wanita, dompet maupun
ikat pinggang. Proses penyamakannya melalui penyamakan nabati dan chrome.
Untuk kulit ikan diperoleh dari kulit anjing laut, ikan hiu dan pari.
ØKulit
ban mesin
Jenis kulit ini berasal dari kulit sapi yang diproses dengan
penyamakan nabati dan chrome. Sifatnya harus kuat, lemas dan sedikit
mengalami kemuluran
ØKulit
manchet
Jenis kulit ini banyak dipergunakan untuk peralatan pompa,
pipa air, pentil. Kulit ini berasal dari kulit sapi dan kambing.
ØKulit
tekstil
Jenis kulit ini digunakan untuk keperluan alat-alat
teknik antara lain bagian-bagian dari alat tenun misalnya pecker,
roda gigi (dapat berjalan tanpa berbunyi). Bahannya berasal dari kulit
sapi dan kerbau.
ØKulit
pelindung kerja
Jenis kulit ini banyak dipakai sebagai bahan untuk pembuatan
barang-barang yang berfungsi dalam perlindungan bagi tubuh seperti sarung
tangan dan peci. Bahan mentahnya berasal dari kulit sapi dengan konsistensi
lemas
ØKulit
sarung tangan
Jenis kulit harus tipis, lemas dan lentur. Biasanya
putih atau berwarna-warni. Bahan mentahnya dapat berasal dari kulit
kambing, domba rusa dan babi. Prosesnya melalui penyamakan chrome,
kombinasi chrome dengan minyak.
ØKulit
pakaian
Yang termasuk dalam produk ini adalah barang kulit berupa
mantel ataupun jaket. Bahan mentah berasal dari kulit domba, kambing, sapi dan
kuda.
ØKulit
pengisap keringat
Kulit ini biasanya dipasang pada topi. Prosesnya
dengan penyamakan nabati. Bahan mentahnya berasal dari kulit domba,
kambing dan babi.
PENUTUP
Kesimpulan
·Pengawetan
kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah
terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit.
·Prinsip
pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan
dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan
dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas
tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%).
·Penyamakan
kulit merupakan suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) yang
bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi
kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit tersamak
(leather).
Saran
Untuk asisten, semoga tetap menjadi
asisten yang baik dan lebih memeperhatikan praktikan dalam melakukan praktikum
agar kesalahan yang terjadi dapat diminimalisir.
Untuk Laboratorium, agar menjaga
dari bau-bau tidak sedap yang dapat mengganggu indra penciuman.
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E., Said.
M.I, Wahyuddin, E, Sukendar, N.K. 2002. Produksi Gelatin dan
Produk Kapsul dari Kulit Kaki Ayam. Laporan Penelitian Proyek Hibah
Bersaing X. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Djojowidagdo, S
1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam Pengembangan Iptek
Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Junqueira.,
L.C., Corneiro, J dan Kelly, R.O. 1998. Alih Bahasa : Tambayong,
J. 1998. Histologi Dasar. EGC Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta.
LP.POM-MUI. 1997. Tulang yang
berserakan. Jurnal halal. Bogor.
Pearson, A.M and
Dutson, T.R. 1992. Inedible Meat By-Products. Advances In
Meat Research. Vol.8. Elsevier Applied Science, London and New York.
Roddy, W.T.
1956. Histology of Animal Skins. Chapt.2. Vol I. in The
Chemistry and Technology of Leather. Robert E. Krieger
Publishing Co. Huntington, New York.
Sarkar,
K.T. 1995. Theory and Practice Leather Manufacture.
THE AUTHOR. 4. Second Avenue. Mahatma Ghandi Road. 600 041